TEMPO.CO, Jakarta - Etti Roweti Muliani seringkali menjadi "tahanan rumah". Perempuan tua itu kerap bingung saat anak kuncinya gagal membuka gerendel pagar. Dia tak tahu bahwa keluarganya sengaja mengganti kunci biar ibu tiga anak tersebut tidak ke mana-mana.
Bukan apa-apa. Perempuan 68 tahun itu divonis menderita alzheimer sejak lima tahun lalu. Ini merupakan istilah medis untuk kepikunan parah yang ditandai dengan penyusutan otak.
Fisik Etti tergolong bugar untuk perempuan seusianya, tapi kemampuan memorinya turun jauh. "Dia lupa alamat, tidak ingat mandi, bahkan lupa makan," ujar Diah Nursanti, putri bungsunya, dalam diskusi “Hidup Bersama Orang dengan Demensia” di Pondok Indah, Jakarta Selatan, pekan lalu.
Penyakit ibunya itu membuat Diah, 38 tahun, memutuskan berhenti dari pekerjaannya tahun lalu, "Supaya bisa merawat ibu," katanya. Dia menilai gawean barunya ini cukup sulit. Terlebih, Diah tidak berbekal pengetahuan sebagai pendamping atau caregiver, melainkan terjun langsung ke penderita. "Saya sempat stres," kata warga Bandung ini.
Penyebab utamanya ada dua: Etti kerap menolak dirawat dan gemar keluyuran. Biasanya tujuannya ke pasar dan sekolah. Jika pergi, Etti lupa jalan pulang. "Untungnya orang-orang di pasar banyak yang kenal ibu," kata Diah. "Jadi ada yang mengantar pulang."
Itu sebabnya Diah diam-diam mengganti gembok pagarnya. Namun, status "tahanan rumah" tersebut hanya sementara saat Diah atau asisten rumah tangga mereka sedang beraktivitas. "Begitu kerjaan beres, ya, saya ajak ibu keluar," ujarnya.
Dokter spesialis saraf (konsultan) Samino mengatakan penderita demensia, penurunan fungsi otak, yang suka jalan-jalan seperti Etti memang perlu pengawasan khusus. "Kuncinya, pendampingan terus-menerus," kata Etti dalam acara yang sama. Sebab, fungsi kognitif, emosi, dan perilakunya turun drastis.
Samino mengatakan tempat-tempat yang acap didatangi "alzheimer petualang" ini biasanya yang berkaitan dengan memori pada masa lalu mereka. Etti dulu bekerja sebagai penyuluh Keluarga Berencana dan kerap menyatroni rumah ke rumah, sehingga membuatnya tak betah diam di rumah. Kalau sudah terlalu lama duduk, menurut Diah, dia akan ngambek. Maka Diah pun mengajak sang ibunda keluar untuk jalan-jalan berkeliling perumahan.
Samino memaparkan, penurunan kadar zat penyambung saraf (neurotransmitter) berupa asetilkolin juga bisa menjadi penyebab penyandang demensia susah duduk tenang, meski dulunya tidak banyak memori aktivitas di luar ruangan. Kalau sudah begini, dokter yang berpraktek di Rumah Sakit Islam Jakarta itu menyarankan agar si penderita diajak berjalan ke tempat yang memberikan energi positif. Misalnya, ke tempat peribadatan, taman, atau perpustakaan.
"Kunjungan tersebut dilakukan berulang," ujar Ketua Umum Asosiasi Alzheimer Indonesia ini. Tidak perlu lama, cukup 1-2 jam. Kalau mereka sudah gembira, Samino melanjutkan, biasanya akan lelah sendiri dan minta pulang. Kebahagiaan kecil seperti itu akan menghambat laju penurunan kemampuan otak penderita.
DIANING SARI