TEMPO.CO, Jakarta - Stres dan kanker memiliki korelasi positif. Demikian dinyatakan Dokter Ang Peng Tiam, senior medical consultant dan medical director dari Parkway Cancer Centre, Singapura.
Stres yang parah, kata dia, dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh. Padahal sistem ini bertugas memantau, mencari, dan menghancurkan infeksi serta kanker. "Ketika sistem kekebalan tubuh itu gagal, sel-sel dapat beraksi tanpa diketahui dan tumbuh menjadi tumor ganas," kata Ang, seperti ditulis Koran Tempo, Senin, 7 September 2015.
Dalam buku itu, Ang menceritakan pengalamannya selama 26 tahun di bidang medis. Setiap kali ada pasien kanker yang datang, Ang menanyakan kondisi psikisnya. Sering kali mereka bercerita tentang pasangan yang tak setia, masalah keuangan, ketidaknyamanan di tempat kerja, atau masalah dengan anak-anak dan studi mereka.
Ang mengakui hubungan antara stres dan kanker memang belum terbukti lewat penelitian. Namun sudah banyak pakar yang mengamatinya, diantaranya ahli pengobatan kanker terkenal dari Beijing, Profesor Sun Yan. Kepada Ang, Profesor Sun menceritakan pengalamannya berpraktek saat Revolusi Kebudayaan Cina. Selama periode 1966 sampai 1975 itu, banyak warga Cina mengalami stres karena harus beradaptasi dengan rutinitas baru yang keras. "Menurut Sun, selama periode itu, jumlah penderita kanker melonjak," ujar Ang, penulis buku Hope and Healing.
Ang juga mendapati, pasien kanker yang merasa tak berdaya dan memiliki emosi negatif cenderung memburuk kondisinya. Getaran pikiran ini mempercepat pertumbuhan atau penyebaran kanker di tubuh. Maka, selain mengobati pasien, Ang juga berpesan kepada pasien-pasiennya untuk menghindari stres. Dia menyarankan agar mereka melakukan kegiatan yang menyenangkan, meditasi, olahraga, serta selalu berpikiran positif. "Just be happy," kata mantan Ketua Himpunan Onkologis Singapura ini.
Dokter dari Parkway Cancer Centre Singapura ini juga menyarankan agar para dokter bisa berkomunikasi dengan baik kepada pasien, karena mereka juga membutuhkan penyembuhan secara psikologis. Menurut Ang, tak semua pasien siap mendengar vonis kanker. Alih-alih menuruti omongan dokter, bisa jadi pasien itu kabur dan memilih pengobatan alternatif yang justru memperparah penyakitnya. “Dokter harus menjaga sikap dan bahasa tubuhnya."
Seorang pasien kanker yang menuruti prinsip anti-stres adalah Rachmawati, 42 tahun. Saat ditemui pekan lalu, sulit mendapati raut kesedihan di wajah penderita kanker payudara stadium lanjut ini.
Padahal banyak hal yang membebaninya, termasuk biaya pengobatan. "Tapi saya tidak mau stres," ujarnya. Mungkin sikap positif itulah yang membuat Rachmawati bertahan tujuh tahun sejak vonis, jauh lebih lama ketimbang pasien kanker payudara dengan stadium sama, yang rata-rata harapan hidupnya hanya 2,5 tahun.
NUR ALFIYAH