TEMPO.CO, Jakarta - Ikebana atau seni merangkai bunga merupakan salah satu kebudayaan Jepang yang populer. Di Indonesia, dikenal terdapat tujuh aliran, salah satu aliran yang cukup dikenal adalah aliran Mishoryu.
Aliran Mishoryu pertama kali diciptakan di Osaka, Jepang, pada abad ke-19 oleh Mishosai Ippo. Konsep dasar yang dimiliki oleh aliran ini adalah Tuhan, bumi, dan manusia. Di Indonesia, aliran ini dikenal sejak 1960-an.
"Salah satu ciri khas dari aliran mishoryu adalah bambu," kata Frida Sutarko, pengajar Ikebana di Japan Foundation, saat ditemui di area Pameran Ikebana Mishoryu, kawasan Sudirman, Kamis, 1 Oktober 2015.
Frida menerangkan, bambu menjadi ciri aliran Mishoryu karena melambangkan keabadian dan umur panjang. Meski demikian, ia menambahkan, bambu bukanlah satu-satunya media yang dipakai untuk aliran ini.
Menurut Frida, ada pakem-pakem tertentu yang dimiliki oleh aliran ini. "Harus diketahui dan dimengerti betul bagaimana meletakkan rangkaian bunga ini. Misalnya rangkaian bunga pada bambu pertama menghadap keatas, kedua ke kanan, atau sebaliknya," lanjut Frida, "cara meletakkan rangkaiannya harus berimbang," lanjutnya.
Selain itu, lambang-lambang yang yang merepresentasikan Tuhan, bumi dan manusia tertuang dari gaya ini. Tangkai yang paling panjang dan selalu menghadap ke atas. "Biasanya mengarah keatas karena melambangkan rasa hormat terhadap Tuhan," kata pemilik toko bunga di kawasan Kebon Jeruk Jakarta ini.
Tangkai yang kedua melambangkan alam. "Biasanya tangkai ini berukuran sedang," kata Frida. Sedangkan tangkai yang ketiga, tankai yang paling pendek yang melambangkan manusia. "Tangkai ini biasanya dipenuhi oleh bunga-bunga hingga bunga yang masih kecil," ungkap Frida. Bunga yang banyak melambangkan jumlah manusia yang banyak di muka bumi ini.
Jika diperhatikan, Frida melanjutkan, keseluruhan rangkaian bunga selalu berbentuk segitiga yang melambangkan keseimbangan. Konsep inilah merepresentasikan Sang Pencipta, Alam, dan manusianya.
DINI TEJA