TEMPO.CO, Jakarta - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dan Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI) menerbitkan buku tentang kasus kekerasan seksual anak Jakarta International School. Buku bertajuk Melindungi Anak, Membela Kepentingan Hak Tersangka itu diluncurkan di Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera di Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu, 13 April 2016.
Buku eksaminasi--advokasi isu terhadap putusan hukum--itu berisi setumpuk temuan dan analisis pakar hukum terhadap kasus JIS. Kesimpulannya, proses hukum telah gagal memberi jawaban perlindungan hukum dan keadilan kepada anak yang diduga menjadi korban.
"Penegak hukum gagal membuktikan adanya peristiwa tindak pidana yang identik sebagai kejahatan seksual terhadap anak," ujar Haris Azhar, koordinator KontraS, dalam siaran pers, Kamis, 14 April 2016. Menurut dia, tidak ada keterangan, visum et repertum, medis, dokter atau rumah sakit yang menyatakan MAK identik dengan korban kekerasan seksual.
Hal lain yang disoroti KontraS adalah dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan penyidik saat memeriksa tersangka. "Terkategorikan pelanggaran hak asasi manusia berat, yaitu penyiksaan," kata Haris.
Ketua MaPPI FHUI Choky Ramadhan mengatakan kasus yang melibatkan dua guru JIS tersebut bersifat dipaksakan. Tudingan itu berdasar pada sumirnya tuduhan kepada pelaku. "Butuh waktu lebih dari 110 hari bagi polisi untuk mengumpulkan bukti setelah mengalami P19 (pengembalian berkas perkara karena kurang bukti) oleh kejaksaan," ujarnya.
Choky mengatakan penetapan status tersangka dua guru JIS itu lebih didasarkan pada keterangan ibu pelapor. "Padahal dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, kesaksian seperti itu tidak memenuhi syarat karena pelapor tidak mengalami, tidak mendengar, dan tidak melihat kejadian," ujarnya. Untuk itu, KontraS dan MaPPI merekomendasikan berkas perkara kasus ini dihentikan dan negara wajib memberikan ganti rugi pada para tersangka.
REZA MAULANA