TEMPO.CO, Yogyakarta -Pengajar Jurusan Sastra Nusantara Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Manu J Widyaseputra mengatakan batik punya folosofi kasih dalam naskah kuno.
Menurut Manu, dalam Kakawin Ramayana, tembang berbahasa Jawa Kuno yang dibuat di zaman Mataram Hindu, ada penggambaran tentang kata batik. Batik berasal dari kata Tika yang punya arti lukisan atau gambar sakral.
Ada pula Citrabuwana, konsep yang berisi tentang batik Jawa. Citra berarti menggambar, melukis. Sedangkan, Bhuwana punya arti universal. Gambaran itu sejajar dengan mikro kosmos, makro kosmos dan batik.
“Mikro kosmos bicara tentang tubuh manusia. Makro kosmos bicara alam semesta,” kata Manu kepada Tempo seusai menjadi pembicara kunci pada simposium rangkaian Jogja International Batik Biennale di Hotel Royal Ambarrukmo, 13 Oktober 2016. Acara yang berlangsung di sejumlah tempat di Yogyakarta itu berlangsung pada 12-16 Oktober.
Menurut dia, pada Sang Hyang Ekasuksma terdapat hubungan antara bhakti atau cinta kasih melalui gambaran fauna. Misalnya naga, uling lajar, manuk (burung), laler (lalat), kupu-kupu. Binatang-binatang itu punya peran penting di bumi dan berhubungan dengan cinta kasih.
Dalam teks naskah kuno itu juga terdapat gambaran beragam pohon, bunga, langit, sungai, hutan, danau. Sekarang pada batik orang bisa melihat banyak hal tidak hanya lingkunan, melainkan dunia. Semua yang ada di dunia atau alam semesta ini ada dalam naskah-naskah kuno itu.
“Filosofi yang paling penting dalam manuskrip itu bicara tentang bakti atau kasih,” kata Manu.
Naskah kuno yang berisi gambaran motif batik klasik tersimpan di Leiden, Belanda. Manuskrip berbahasa Jawa kuno abad 9-16 itu banyak bicara tentang filosofi yang ada pada batik. Manuskrip yang berisi teks Jawa Kuno itu tidak langsung menyebut batik, melainkan motif-motifnya misalnya flora dan fauna. Data dan sumber di Leiden, kata Manu sangat lengkap. Sayangnya, hanya sedikit orang yang memahami Bahasa Jawa kuno.
Itulah sebabnya naskah kuno sebagai sumber penting dan lengkap itu tidak terbaca. Naskah-naskah kuno abad 9-16 itu tidak terdapat di Keraton Yogyakarta dan Solo. “Melihat batik itu seperti arkeologi. Dengan pertolongan teks batik bisa dibunyikan. Ada dalam teks naskah kuno,” kata Manu.
SHINTA MAHARANI