TEMPO.CO, Jakarta - Mia, salah satu tokoh utama dalam film yang diperankan Emma Stone, sangat mengesankan dengan gayanya itu. Hanya bekerja sebagai pramusaji kedai kopi, wanita yang bermimpi jadi aktris terkenal itu bisa tinggal bareng dengan beberapa teman “keren” di rumah mewah. Bergaulnya dari pesta ke pesta, sedan modern Prius siap mengantarkan ke mana mereka pergi.
Citra social climber semakin kuat dengan akhir cerita yang dipilih Mia. Social climber memiliki makna kurang lebih seseorang yang berusaha mendapatkan status sosial lebih tinggi dari realitanya. Caranya menjadi teman dengan orang-orang kaya.
Menyaksikan film yang menonjolkan karakter wanita social climber yang bercitra negatif, sungguh tidak inspiratif. Namun mungkin itulah realita yang banyak wanita zaman sekarang.
Haruskah Anda yang sungguh hidup dalam realita, menerima begitu saja fenomena ini? Walau sepintas terasa menyenangkan, ada risiko yang harus ditanggung.
Art Markman PhD, psikolog dari Universitas Texas, pernah menyebut tentang teori hedonis-treadmill. Bahwa, setiap kali Anda mencapai tujuan, maka Anda akan menetapkan pandangan pada tujuan berikutnya. “(Namun) jika tujuan utama Anda adalah status yang tinggi, Anda tidak akan menikmati sekali Anda berada di sana,” kata Markman.
Sulit bagi para social climber merasa bahagia walau memiliki segalanya. Pasalnya, tidak jarang, dalam upaya naik ke atas, para social climber meninggalkan jejak luka pada sesama manusia, tidak terkecuali dirinya sendiri.
Lantas apa yang menyebabkan seseorang, baik sengaja ataupun tidak, menjadi social climber? Psikolog klinis dewasa dari Pusat Informasi dan Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan, menyebutkan, menjadi social climber biasanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk diterima dan diakui masyarakat.
“Kalau mau dilihat lebih dalam lagi, ada macam-macam kebutuhan dasar yang menjadi pendorong para social climber. Bisa jadi need for acceptance atau need for power recognition. Biasanya berupa dorongan untuk dekat dengan orang-orang dari strata sosial lebih tinggi, yaitu ketika seseorang akan merasa lebih powerful karena berada di lingkungan orang-orang yang berpengaruh,” ungkap Anna.
Anna menegaskan, social climber tidak termasuk dalam gangguan patologis dari sisi psikologi klinis. Walau tidak menutup kemungkinan, social climber seseorang yang menderita gangguan tertentu yang disebabkan stres atau break down akibat penolakan dari lingkungan sosial yang dituju. “Gangguan psikologis yang diderita lebih karena penolakannya, bukan karena menjadi social climber-nya,” ujar Anna.
Dampak yang dirasakan social climber tentu berbeda-beda pada setiap orang. Untuk beberapa orang menurut Anna keberhasilan diterima di satu lingkungan sosial tertentu akan membawa kebanggaan dan perasaan bahwa ia diterima.
“Sampai pada titik tertentu, keberhasilan akan membawa kepuasan bagi yang bersangkutan. Hanya perlu dilihat lagi, apakah ini memang memberi kepuasan dalam jangka panjang," ujar Anna.
Pada akhirnya, untuk mencegah diri menjadi social climber dan merasakan kebahagiaan yang sejati, seseorang hanya perlu menerima dan menghargai dirinya sendiri.
Terlepas dari atribut seperti lingkungan sosial di mana ia berada (teman-temannya siapa, lingkungan, atau kenalannya siapa), banyak dari para social climber yang sebenarnya hanya perlu memupuk penerimaan diri dan rasa percaya dirinya. “Dengan demikian penilaian terhadap harga dirinya tidak melulu dikaitkan dengan lingkungan di mana ia berada,” pungkas Anna.