TEMPO.CO, Jakarta - Konsumen di Indonesia masih banyak yang belum memahami transaksii bisnis melalui e-commerce atau penjualan dan pembelian produk maupun jasa secara online. Mereka cenderung masih menganggap penting melihat fisik produk, bertemu, dan mendengar penjelasan dari penjual sebelum memutuskan membeli suatu barang yang diinginkan.
Di luar kota-kota besar, bahkan konsumen masih takut bertransaksi melalui e-commerce. “Untuk itu perubahan pola perilaku belanja konsumen menjadikan para produsen belajar untuk lebih kreatif dan bersedia mengadopsi sistem perdagangan offline, menjadi bagian dari salah satu saluran pemasaran,” kata Chief Executive Officer Blibli.com Kusumo Martanto, Jumat, 12 Mei 2017.
Namun, Kusumo menuturkan, kini mulai berkembang strategi omni-channel yang merupakan perpaduan sistem pemasaran offline dan online. Dengan mengadopsi strategi itu, lanjutnya, para peritel memiliki peluang untuk menjual produknya tanpa dibatasi waktu dan tempat, di mana saja dan kapan pun selama 24 jam sehari.
Kusumo lebih jauh menjelaskan e-commerce dalam seminar di E-Commerce Summit and Expo (IESE) 2017 yang berlangsung di Indonesia Convention and Exhibition (ICE), BSD City, Tangerang, kemarin.
Sementara itu VP Sharma,Chief ExecutiveOfficer Mitra Adiperkasa (MAP) Group, mengatakan e-commerce di Indonesia akan terus tumbuh seiring dengan pertumbuhan kelas menengah, serta tingginya budaya konsumsi, dan menjadi pengguna internet terbesar keempat di Asia.
Selain itu, e-commerce juga didukung kebijakan dari pemerintah Indonesia, serta suntikan pendanaan dari investor yang berasal dari dalam dan luar negeri bagi perusahaan-perusahaan e-commerce. “Pertumbuhan e-commerce juga memacu pertumbuhan bisnis-bisnis pendukung lainnya, mulai dari logistik sampai pembayaran,” ujarnya.