Kurikulum Baru, Beban Berat Murid Sekolah

Reporter

Editor

Pruwanto

Selasa, 9 Oktober 2012 07:50 WIB

Seorang siswa mengikuti praktek menggosok gigi dalam rangka Bulan Kesehatan Gigi Nasional 2012 di Universitas Prof. Dr. Moestopo, Jakarta, Senin (1/10). TEMPO/Aditia Noviansyah

TEMPO.CO, Jakarta-Setiap malam, kesabaran Yuni Rahmah, 21 tahun, benar-benar diuji. Hal ini terjadi ketika dia mendampingi Reza Yanuar, keponakannya yang duduk di kelas I sekolah dasar, mengerjakan pekerjaan rumah dari sekolah. Meski Yuni telah berupaya melambatkan tempo dalam memberi penjelasan, tetap saja bocah 7 tahun itu tak segera paham. “Dia bilang pelajarannya sulit,” ucap Yuni, warga Kalideres, Jakarta Barat.

Yuni menuturkan, selain materi pelajaran yang relatif sulit, faktor yang menyebabkan hal itu adalah mata pelajaran Reza di sekolah banyak. Sedikitnya, Reza mendapat 10 mata pelajaran, antara lain Bahasa Inggris, Ilmu Pengetahuan Alam, Ilmu Pengetahuan Sosial, Agama, Bahasa Indonesia, Matematika, Pendidikan Kewarganegaraan, serta Pendidikan Lingkungan dan Budaya Jakarta. Setiap hari, Reza menerima tiga pelajaran, belum lagi harus kerepotan karena mengerjakan dua buah PR yang membuatnya gampang kelelahan. “Setiap pagi Reza ogah-ogahan berangkat ke sekolah,” kata Yuni.

Apa yang dialami Reza merupakan bentuk penolakan bersekolah atau school refusal. Menurut Syailendra W.S., penolakan ini terjadi karena beban pelajaran. Psikiater dari Rumah Sakit Pusat Pertamina ini mengatakan kurikulum sekolah yang diterima siswa-siswa SD saat ini dinilai melebihi kewajaran usia mereka. Ketika mendaftar masuk SD, anak-anak dites kemampuan membaca, menulis, dan menghitung.

Akibat yang timbul adalah sejak taman kanak-kanak anak-anak seakan dipaksa mempunyai kemampuan menghitung dan membaca. Padahal kemampuan ini seharusnya baru diberikan saat anak duduk di kelas I SD. Setelah duduk di bangku SD, beban anak lebih berat lagi, yang sebenarnya belum sesuai dengan kapasitas kognitif dan psikologis mereka. “Di situlah anak-anak bisa frustrasi. Sekolah dianggap sebagai beban dan sesuatu yang tidak menyenangkan,” kata Syailendra.

Kondisi ini diperparah bila orang tua memaksakan anak ikut beragam kursus. Kesempatan anak untuk bermain, bersosialisasi, dan mengembangkan kreativitasnya semakin berkurang. Syailendra pernah menangani anak kelas V SD yang mengalami situasi ini. Dari pagi hingga siang, anak tersebut melakukan aktivitas di sekolah. Sorenya, anak itu masih lanjut bergelut dengan kursus bahasa Inggris dan komputer.

Suatu hari, si anak tersebut sakit dan ketika sembuh dia tak mau lagi bersekolah. Dengan segala cara, mulai dibujuk habis-habisan, si anak tetap menolak, enggan ke sekolah. “Setelah diajak bicara, ternyata si anak merasa kewalahan dengan pelajaran di sekolah. Solusinya adalah home-schooling. Sekarang dia sudah kuliah di fakultas kedokteran,” Syailendra menceritakan.

Syailendra yakin banyak anak-anak sekolah yang sebenarnya mengalami masalah dengan beban pelajaran sekolah. Berdasarkan pengalamannya menangani pasien, jumlah anak yang mengalami hal itu sekitar 20 persen dan fenomena ini seperti gunung es. “Angka sebenarnya bisa lebih banyak,” kata dia. Perwujudan masalah itu bukan cuma penolakan ke sekolah, tapi juga bisa berbentuk lain seperti depresi, sensitif, gampang marah, bengal, memberontak, menghabiskan waktu dengan bermain game, minder, dan anak-anak mengambil perilaku berisiko tinggi.

Kurikulum yang begitu berat dan tidak tepat yang dibebankan ke siswa merupakan sebuah kekeliruan. Pendidikan yang terjadi tidak menyentuh pembentukan mental, karakter, dan pengembangan kreativitas siswa. Yang dipacu hanya otak kiri, sementara otak kanan terabaikan. “Kalaupun kemudian hari anak jadi pintar, dia cuma pintar buat dirinya sendiri, sama sekali tidak bermanfaat bahkan merugikan masyarakat,” kata Syailendra.

Di sinilah pentingnya peran orang tua dalam mendidik anak. Orang tua, kata Syailendra, adalah figur terdekat bagi anak yang mestinya menanamkan nilai-nilai kehidupan sedari dini. Selain itu, orang tua perlu bijaksana dalam memberikan pendidikan kepada anak. Jangan paksa anak ikut bermacam-macam kursus yang bukan minatnya.

Peran guru juga tidak kalah penting. Guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi juga harus berperan sebagai pendidik. “Guru harus menjadi teladan dan mengerti psikologi perkembangan anak,” ujar Syailendra.


AMIRULLAH

Berita Terpopuler
Komunitas Perokok: Merokoklah pada Tempatnya

Kebiasaan Minum Alkohol Diturunkan dari Ibu

Sensasi Penuh Drama di Paris

Bagaimana Cara Diet Penderita Diabetes?

Berita terkait

Jawab Permendikbud yang Baru, Kepala Pusdiklat Kwarnas: Pembinaan Pramuka Tetap Kuat

38 hari lalu

Jawab Permendikbud yang Baru, Kepala Pusdiklat Kwarnas: Pembinaan Pramuka Tetap Kuat

Penilaian ini berbeda dari pernyataan sikap Sekretaris Jenderal Kwarnas Gerakan Pramuka periode 2018-2023, Mayjen TNI (Purn) Bachtiar Utomo.

Baca Selengkapnya

Ketua Kwarda Ini Setuju Pramuka Tidak Wajib di Sekolah, Kenapa?

40 hari lalu

Ketua Kwarda Ini Setuju Pramuka Tidak Wajib di Sekolah, Kenapa?

Ekstrakurikuler Wajib Pendidikan Kepramukaan pun dianggapnya rancu dengan Pendidikan Karakter Profil Pelajar Pancasila.

Baca Selengkapnya

Peraturan Baru Menteri Nadiem Soal Pramuka, Kemendikbudristek Tegaskan Ini

40 hari lalu

Peraturan Baru Menteri Nadiem Soal Pramuka, Kemendikbudristek Tegaskan Ini

Penjelasan menyusul hangatnya perbincangan mengenai Pramuka beberapa hari belakangan menyusul terbitnya Peraturan Mendikbudristek Nomor 12 Tahun 2024.

Baca Selengkapnya

Apa Arti P5 dalam Kurikulum Merdeka? Ini Tujuan, Prinsip, dan Manfaatnya

22 Agustus 2023

Apa Arti P5 dalam Kurikulum Merdeka? Ini Tujuan, Prinsip, dan Manfaatnya

Apa itu P5 dalam Kurikulum Merdeka?

Baca Selengkapnya

Membedah Struktur Kurikulum Merdeka Tingkat SMA Sederajat

6 Agustus 2023

Membedah Struktur Kurikulum Merdeka Tingkat SMA Sederajat

Kurikulum Merdeka dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknoligi pada tahun 2022 sebagai pengganti kurikulum 2013.

Baca Selengkapnya

Menengok Implementasi Kurikulum Merdeka di Madrasah dan Kendalanya

20 Juli 2023

Menengok Implementasi Kurikulum Merdeka di Madrasah dan Kendalanya

Implementasi Kurikulum Merdeka di madrasah memiliki sejumlah kendala di lapangan. Di antaranya adalah tidak semua guru mau move on.

Baca Selengkapnya

Rincian Kurikulum Merdeka dan Tujuan Penerapannya

13 Juli 2023

Rincian Kurikulum Merdeka dan Tujuan Penerapannya

Kurikulum Merdeka merupakan konsep pembelajaran bertujuan mendalami dan mengembangkan minat serta bakat masing-masing siswa.

Baca Selengkapnya

Menilik Perbedaan Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum 2013

12 Juli 2023

Menilik Perbedaan Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum 2013

Terdapat beberapa perbedaan dari Kurikulum Merdeka dengan Kurikulum 2013

Baca Selengkapnya

Jeroan RUU Sisdiknas: Perbedaan Sisdiknas dan Kurikulum di RUU Sisdiknas

30 Agustus 2022

Jeroan RUU Sisdiknas: Perbedaan Sisdiknas dan Kurikulum di RUU Sisdiknas

RUU Sisdiknas yang diajukan oleh Kemendikbudristek memuat beberapa perbedaan tentang Kurikulum dan Sisdiknas. Simak penjelasannya

Baca Selengkapnya

PTM 100 Persen, Guru Diimbau Lakukan Asesmen Diagnostik Siswa

17 Juli 2022

PTM 100 Persen, Guru Diimbau Lakukan Asesmen Diagnostik Siswa

Hal itu perlu dilakukan guru karena selama masa pandemi peserta didik belajar berbeda-beda sehingga level kemampuannya beragam.

Baca Selengkapnya