Diet Vegan Tak Selalu Aman, Simak Kata Ahli Gizi
Reporter
Arkhelaus Wisnu Triyogo
Editor
Mitra Tarigan
Kamis, 23 Januari 2020 14:49 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sejumlah pakar gizi dan kesehatan mewaspadai meningkatnya tren masyarakat dalam menjalankan diet vegan. Mereka menganggap para vegan di Indonesia sering mengabaikan asupan gizi yang seimbang sebelum memutuskan untuk berhenti mengkonsumsi segala jenis pangan hewani dan produk turunannya. “Kalau belum siap, mending jangan melakukan diet vegan,” kata Dokter Tan Shot Yen, ahli gizi komunitas, kepada Tempo, Rabu lalu.
Yen mengatakan, dalam persoalan makan, seseorang tidak hanya berbicara tentang fungsi kandungan zat dalam makanan, tapi juga faktor keamanan. Menurut dia, manusia tidak hanya membutuhkan kalori, tapi juga keseimbangan asam amino komplet, baik yang esensial maupun non-esensial. Faktanya, kata Yen, orang berdiet masih sering terjebak dalam kebutuhan makan minimum dan bergantung pada katering penyedia menu vegan yang tidak murah. “Yang jadi masalah dengan makanan enggak sehat itu bukan dari sumber pangan, tapi cara mengolahnya.”
Hasil Riset Kesehatan Dasar 2018 Kementerian Kesehatan menunjukkan adanya peningkatan prevalensi penyakit tidak menular dibanding dalam riset serupa pada 2013. Pada penyakit hipertensi, misalnya, terjadi peningkatan prevalensi dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen. Peningkatan prevalensi terjadi pada penyakit kanker, stroke, ginjal, dan diabetes. Riset ini menyimpulkan kenaikan prevalensi ini berhubungan dengan pola hidup seperti merokok, konsumsi minuman beralkohol, kurangnya aktivitas fisik, dan minimnya konsumsi buah dan sayur.
Jadi, menurut Yen, persoalan gizi terbesar berada pada minimnya konsumsi buah dan sayur. Sedangkan mayoritas kegagalan diet vegan terletak pada perhatian orang dalam mengganti kebutuhan karbohidrat dan mengabaikan kebutuhan protein serta lemak. Penggantian konsumsi protein dengan pangan yang berasal dari kacang-kacangan, menurut dia, tidak serta-merta dapat menutup kebutuhan asam amino yang banyak ditemui dalam ikan atau makanan laut. “Masalah vegan biasanya jatuh dengan kekurangan asam amino, vitamin B12, dan defisiensi zat besi,” ujarnya.
Pemenuhan zat gizi yang tidak seimbang dalam tubuh, Yen menambahkan, dapat memicu peradangan di sejumlah organ tubuh. Misalnya peradangan di dengkul sehingga ngilu dan nyeri, dan yang terparah adalah peradangan pada pembuluh darah. “Apalagi jika para vegan ini mengkonsumsi minyak yang tidak jelas jenisnya,” ujarnya.
Yen pun memaklumi banyak vegan berdalih konsumsi pangan nabati dapat menutupi kebutuhan zat besi. Namun, kata Yen, bioavailabilitas tubuh dalam menyerap zat besi yang berasal dari pangan hewani masih lebih tinggi dibanding pangan yang berasal dari produk tumbuh-tumbuhan. Contohnya, kandungan zat besi satu ons ikan baronang hampir sama dengan satu ons bayam. “Tapi zat besi dari ikan lebih mudah dicerna dan dipakai tubuh,” tuturnya.
KORAN TEMPO