Demi Transparansi, Peneliti Dukung BPOM Pasang Label BPA
Reporter
Antara
Editor
Yayuk Widiyarti
Minggu, 9 Oktober 2022 20:31 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Dosen di Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia (UI), Agustino Zulys mendukung Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk membuat regulasi pemasangan label kandungan Bisfonel-A (BPA) pada air minum kemasan galon. "Demi transparansi, saya setuju pelabelan sejauh mana keberadaan BPA itu," katanya saat dihubungi Tempo pada Selasa, 18 Oktober 2022.
Agus mengatakan pelabelan pada air minum itu bisa memberikan informasi kepada konsumen berapa banyak kandungan BPA yang ada dalam air dalam kemasan galon berbahan polikarbonat. Polikarbonat adalah bahan plastik yang sangat transparan, tapi lebih kuat dari kaca. Bahan ini sering digunakan untuk industri pembuatan rumah, bangunan, dan kacamata. "Kalau pelabelan BPA itu hal yang baik, kami dukung," lanjutnya.
Agus mengatakan BPA ini kimia yang disinyalir karsinogenik. Bila dikonsumsi melebihi ambang batas, maka dikhawatirkan bisa berdampak buruk pada kesehatan manusia. "Karsinogenik itu zat yang bisa menyebabkan kanker bila dikonsumsi secara periodik dan dalam waktu yang lama," katanya.
Agus mengatakan ada perbedaan antara mikroplastik dengan BPA. Mikroplastik adalah plastik yang ukurannya mikro alias kecil. Plastik ini tidak terlihat dengan kasat mata karena transparan. Sedangkan BPA, kata Agus, adalah zat kimia awal yang berguna untuk industri pengembangan ilmu pengetahuan dalam pembuatan polikarbonat. "BPA, adalah senyawa kimia, prekursor, dalam pembuatan polikarbonat," kata Agus.
Ia mengatakan perlu penelitian lebih lanjut soal dampak mikroplastik pada tubuh. "Coba bayangkan orang makan plastik jadinya seperti apa. Nanti plastik akan melukai jaringan tubuh kita, perlu penelitian lebih lanjut. Dalam hal BPA, sebagai bahan kimia, BPA itu bisa bereaksi pada tubuh kita," katanya.
Majalah Tempo sempat mengulas soal mikroplastik pada edisi 7 Mei 2021, berjudul 'Bom Waktu Mikroplastik". Dalam tulisan di edisi itu, Tempo melansir jurnal Environment International edisi online 24 Maret 2021 yang menyebutkan bahwa partikel mikroplastik ditemukan pada 17 sampel darah dari 22 relawan. Memang ukuran sampel yang kecil.
Beragam jenis plastik bisa terdegradasi menjadi mikroplastik. Richard Thompson, ahli ekologi kelautan dari University of Plyamouth, Inggris, yang menciptakan istilah ini pada 2004 untuk mendeskripsikan partikel polimer berukuran panjang kurang dari 5 milimeter, yang timnya temukan di pantai. Sejak saat itu, para ilmuwan menemukan mikroplastik di mana pun mereka meneliti: di lautan dalam, salju Kutub Utara dan es Antartika, kerang, garam meja, air minum, serta melayang di udara atau jatuh bersama hujan.
Yang terbaru, pada Maret lalu, Heather A. Leslie dan koleganya dari Department of Environment and Health, Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda mengumumkan penemuan mikroplastik berukuran 0,7 mikrometer dalam darah manusia. Temuan yang dipublikasikan di jurnal Environment International, ini menambah kekhawatiran dampak mikroplastik terhadap kesehatan manusia. “Darah merupakan jalur transportasi oksigen, nutrisi dan berpotensi juga membawa partikel plastik ke jaringan dan organ lain,” tulis penelitian itu.
Sebelumnya pada 2019, Badan Kesehatan Dunia (WHO) melalui kajian bertajuk “Microplastic in Drinking Water” menyimpulkan mikroplastik dalam air minum tampaknya tidak menimbulkan risiko kesehatan pada tingkat saat ini. Menurut analisis WHO, mikroplastik yang lebih besar dari 150 mikrometer (μm) tak mungkin diserap tubuh dan partikel yang lebih kecil diperkirakan terbatas penyerapannya.
Penelitian WHO itu terbit setelah organisasi jurnalis nirlaba di Amerika Serikat, Orb Media Network, pada Maret 2018 mengumumkan bahwa 93 persen dari 259 sampel botol air minum yang diambil dari 9 negara (ada 11 merek air minum dalam botol plastik sekali pakai termasuk Aqua dari Indonesia) mengandung mikroplastik Polyethylene Terephthalate (PET).
Mikroplastik yang bermigrasi di air minum dalam kemasan menjadi objek penelitian yang menarik bagi banyak kalangan. Terakhir, pada September 2021 lalu, Greenpeace Indonesia bekerja sama dengan Pusat Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia menemukan kandungan mikroplastik pada dua merek air minum yang memakai galon sekali pakai. Konsentrasi mikroplastik yang ditemukan adalah 5 bagian per juta (ppm) pada merek A dan 0,2 ppm di merek B. Mayoritas bentuk partikel mikroplastik yang ditemukan adalah fragmen, dengan ukuran yang berkisar antara 2,44 hingga 63,65 μm.
Bentuk mikroplastik ternyata berpengaruh juga. Evangelos Danopoulos dari Hull York Medical School, Inggris yang menganalisis 17 penelitian tentang dampak toksikologi mikroplastik pada lini sel manusia, menemukan bahwa mikroplastik yang bentuknya tak beraturan menyebabkan lebih banyak kematian sel daripada yang berbentuk bola. Penelitian yang dipublikasikan di Journal of Hazardous Material, November 2021 ini, memaparkan mikroplastik ke sel manusia di laboratorium. Temuannya, mikroplastik bisa mengakibatkan kematian sel, menimbulkan respons alergi, mempengaruhi dinding sel, dan merusak sel.
Selain mikroplastik, galon juga melepaskan bahan kimia berbahaya ke dalam air minum. Setidaknya ada dua senyawa kimia yang dipakai dalam produksi plastik kemasan yang bisa termigrasi ke air minum, yakni ftalat dan bisfenol-A (BPA). Ftalat adalah bahan kimia untuk membuat plastik lebih fleksibel dan bening. Sedikitnya, ada lima tipe ftalat yang dipakai dalam produksi botol plastik air minum yakni: dibutyl phthalate (DBP), di-2-(ethyl hexyl) phthalate (DEHP), diethyl phthalate (DEP), benzyl butyl phthalate (BBP) dan dimethyl phthalate (DMP). Adapun BPA adalah senyawa kimia yang digunakan dalam produksi plastik polikarbonat (PC). BPA berguna untuk mengikat plastik agar lebih padat dan keras.
Berbagai penelitian yang dipublikasikan di jurnal ilmiah menyebutkan ftalat sebagai pengganggu sistem endokrin (hormon). Akibatnya, di antaranya yang telah diteliti adalah terjadinya gangguan produksi hormon seksual pada manusia dan perkembangan alat kelamin yang cacat pada hewan percobaan serta penurunan kesuburan pria. BPA juga dikaitkan dengan pengganggu hormon, peningkatan risiko kanker payudara dan prostat, dan peningkatan risiko autis.
Baca juga: Inilah Bahaya Paparan BPA bagi Kesehatan
Artikel ini sudah mengalami revisi pada 19 Oktober 2022 pukl 18.00 untuk menjernihkan pernyataan peneliti Departemen Kimia FMIPA Universitas Indonesia, Agustino Zulys sebelumnya.
MAJALAH TEMPO