Asal Usul dan Dinamika Penggunaan Istilah Cina dan Tionghoa di Indonesia

Minggu, 11 Februari 2024 07:00 WIB

Warga menjalankan sembahyang malam pergantian Tahun Baru Imlek di Klenteng Tay Kai Sie, Semarang, Jawa Tengah, Jumat, 9 Februari 2024. Sembahyang malam pergantian Tahun Baru Imlek tersebut sebagai ungkapan rasa syukur atas rejeki dan keselamatan dari tuhan serta memohon untuk kehidupan yang lebih baik di tahun Naga Kayo. TEMPO/ Febri Angga Palguna

TEMPO.CO, Jakarta - Di Indonesia, kerap digunakan istilah Cina atau Tionghoa. Ada berbagai dinamika konotasi atau pemaknaan dalam penggunaan istilah tersebut. Pemerintah sampai turun tangan dalam penggunaan dua istilah itu.

Istilah penggantian kata “Cina” dengan “Tiongkok” ditetapkan melalui Keputusan Presiden (KEPPRES) Nomor 12 Tahun 2014 tentang Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet AMPERA Nomor SE-06/Pres.Kab/6/1967, Tanggal 28 Juni 1967.

Dalam surat tersebut, perimbangan penggunaan istilah itu berkaitan dengan perlakuan diskriminatif terhadap seseorang, kelompok, komunitas yang kerap digencarkan pada masa Orde Baru. Salah satu kelompok minoritas yang paling terdampak adalah Masyarakat Tionghoa atau Tiongkok.

Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Asvi Warman Adam, memberikan apresiasi terhadap Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 yang mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967. Keputusan tersebut dianggapnya sebagai langkah yang sesuai secara historis dan menghapus stigma diskriminasi dari masa Orde Baru.

Menurut Asvi, keputusan tersebut memperbaiki penyebutan menjadi Tionghoa dan Tiongkok untuk merujuk kepada masyarakat dan negara Cina. Dengan berlakunya keputusan ini, dalam semua kegiatan pemerintahan, istilah orang atau komunitas Tjina/China/Cina diganti menjadi orang atau komunitas Tionghoa. Sedangkan negara Republik Rakyat Cina sekarang disebut Republik Rakyat Tiongkok.

Advertising
Advertising

Asvi menjelaskan bahwa penggantian Tiongkok dan Tionghoa dengan Cina pada masa Soeharto bertujuan untuk mengurangi rasa rendah diri suku lain terhadap suku Cina dan kesan superioritas dari suku Cina itu sendiri. Namun, menurut Asvi, penamaan ini tidak tepat dan terkesan dipaksakan.

Asvi menambahkan bahwa pemerintah Orde Baru justru melakukan tindakan diskriminasi terhadap masyarakat keturunan Tionghoa dengan menyensor dokumen berbahasa Tiongkok dan melarang kebudayaan Tiongkok ditampilkan.

Meskipun beberapa pihak menilai keputusan presiden ini sebagai bagian dari strategi politik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendapatkan dukungan dari etnis Tionghoa menjelang pemilu, Asvi berpandangan bahwa secara umum keputusan ini memiliki dampak positif. Baginya, lebih baik menyebut suatu kelompok sebagaimana mereka ingin disebut.

Dilansir dari situs Yayasan Nabil, asal usul kata "Cina" berasal dari bahasa Sansekerta "china", yang berarti "Daerah yang sangat jauh", menurut Prof. Dr. A.M. Cecillia Hermina Sutami, seorang Guru Besar di Universitas Indonesia.

Kata ini telah ada dalam buku Mahabharata sekitar 1400 tahun sebelum Masehi. Dari sini, kata "china" menyebar dari Asia ke Eropa dengan mengalami penyesuaian fonologis. Marco Polo menyebutnya "chin", kemudian disebut oleh Barbosa (1516) dan Gracia de Orta (1563) dengan "china". Istilah "Cina" atau serupa diperkenalkan oleh bangsa-bangsa Barat yang datang ke Nusantara sejak awal Abad ke-16.

Pada awalnya, masyarakat di Nusantara menggunakan istilah "Cina" tanpa konotasi buruk, namun dengan penerapan politik "Divide et Impera" oleh kolonialisme Belanda, hubungan Tionghoa-penduduk setempat menjadi buruk. Sentimen negatif terhadap istilah "Cina" muncul, dan sebagai respons, sekelompok kaum terdidik mendukung penggunaan istilah "Tionghoa". Organisasi modern Tionghoa pertama di Indonesia, "Tiong Hoa Hwee Koan", didirikan di Batavia pada tahun 1900. Istilah ini dipilih karena sebagian besar komunitas Tionghoa berbahasa Melayu berasal dari keturunan perantau Hokkian.

Pada tahun 1920-an, koran Melayu Tionghoa terbesar, Sin Po, memulai penggunaan istilah "Indonesia" sebagai pengganti istilah merendahkan "Inlander". Terjadi kesepakatan antara pemuka "Kaum Pergerakan" dan Sin Po untuk menghindari penggunaan istilah "Cina" yang merendahkan, dengan menggantinya dengan "Tionghoa". Pemerintah kolonial Belanda di tahun 1928 juga mengakui penggunaan istilah "Tionghoa" dan "Tiongkok" untuk hal-hal resmi.

Pada tahun 1966, terjadi usulan untuk mengganti sebutan "Republik Rakjat Tiongkok" dan warga-negaranya menjadi "Republik Rakjat Tjina" dan "warga negara Tjina". Meskipun penggunaan istilah "Tionghoa" tetap dipertahankan untuk WNI keturunan Tionghoa, penggunaan istilah "Cina" menjadi lebih dominan, terutama setelah Gerakan 30 September 1965.

Dalam beberapa dekade terakhir, istilah "China" atau "Caina" muncul sebagai alternatif yang dianggap netral oleh beberapa kalangan, meskipun masih diperdebatkan dalam konteks kaidah Bahasa Indonesia.

Pada akhirnya, masalah terletak pada Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE.06/Pres.Kab/6/1967 yang memengaruhi persepsi terhadap penggunaan istilah tersebut. Pemerintah diminta mempertimbangkan untuk mencabut surat edaran tersebut, sementara keputusan penggunaan istilah-istilah tersebut sebaiknya diserahkan kepada pengertian dan itikad baik masing-masing pihak.

ANANDA BINTANG | TIKA PRIMANDARI

Pilihan Editor: Sejarah Kalender Cina dan Perayaan Imlek dari Dinasti Shang hingga Pernah Dihapus Mao Zedong

Berita terkait

Laut Cina Selatan: Ketegangan antara Cina dan Filipina memanas?

2 jam lalu

Laut Cina Selatan: Ketegangan antara Cina dan Filipina memanas?

Perseteruan Cina dan Filipina memperebutkan dua fitur di Laut Cina Selatan kian sengit.

Baca Selengkapnya

Sengketa Laut Cina Selatan, Penasehat Keamanan Filipina Sarankan Usir Diplomat Cina

5 jam lalu

Sengketa Laut Cina Selatan, Penasehat Keamanan Filipina Sarankan Usir Diplomat Cina

Diplomat Cina disarankan angkat kaki dari Manila yang menggambarkan naiknya ketegangan di Laut Cina Selatan

Baca Selengkapnya

Peristiwa Gejayan dan Kematian Moses Gatutkaca 26 Tahun Lalu, Siapa Tanggung Jawab?

1 hari lalu

Peristiwa Gejayan dan Kematian Moses Gatutkaca 26 Tahun Lalu, Siapa Tanggung Jawab?

Puncak aksi mahasiswa di Gejayan terjadi pada 8 Mei 1998 setelah salat Jumat. Moses Gatutkaca menjadi korban dengan luka parah. Siapa tanggung jawab?

Baca Selengkapnya

Top 3 Dunia: Daftar Orang Terkaya di Singapura dan Korsel, Cina Diminta Bantu Negara Miskin

1 hari lalu

Top 3 Dunia: Daftar Orang Terkaya di Singapura dan Korsel, Cina Diminta Bantu Negara Miskin

Top 3 dunia kemarin adalah daftar konglomerat Singapura dan Korsel yang masuk daftar Forbes hingga Cina diminta membantu negara miskin dari utang.

Baca Selengkapnya

Membawa Kuliner Sichuan ke Jakarta

1 hari lalu

Membawa Kuliner Sichuan ke Jakarta

Menikmati kuliner hotpot dan bbq dari Sichuan, Cina

Baca Selengkapnya

Cina Minta Israel Berhenti Menyerang Rafah

2 hari lalu

Cina Minta Israel Berhenti Menyerang Rafah

Beijing menyerukan kepada Israel untuk mendengarkan seruan besar masyarakat internasional, dengan berhenti menyerang Rafah

Baca Selengkapnya

Cina Perpanjang Kebijakan Bebas Visa ke 12 Negara Usai Xi Jinping Lawatan ke Prancis

2 hari lalu

Cina Perpanjang Kebijakan Bebas Visa ke 12 Negara Usai Xi Jinping Lawatan ke Prancis

Cina memperpanjang kebijakan bebas visa untuk 12 negara di Eropa dan Asia setelah kunjungan kerja Presiden Xi Jinping ke Prancis

Baca Selengkapnya

Jangan Coba Kasih Tip ke Staf Hotel atau Restoran di Dua Negara Ini, Bisa Dianggap Tak Sopan

2 hari lalu

Jangan Coba Kasih Tip ke Staf Hotel atau Restoran di Dua Negara Ini, Bisa Dianggap Tak Sopan

Layanan kepada pelanggan di restoran dipandang sebagai bagian dari makanan yang telah dibayar, jadi tak mengharapkan tip.

Baca Selengkapnya

Jerman Minta Cina Bantu Negara-Negara Miskin yang Terjebak Utang

2 hari lalu

Jerman Minta Cina Bantu Negara-Negara Miskin yang Terjebak Utang

Kanselir Jerman Olaf Scholz meminta Cina memainkan peran lebih besar dalam membantu negara-negara miskin yang terjebak utang.

Baca Selengkapnya

Jokowi Sebut Impor Produk Elektronik Bikin Defisit hingga Rp 30 Triliun Lebih

3 hari lalu

Jokowi Sebut Impor Produk Elektronik Bikin Defisit hingga Rp 30 Triliun Lebih

Jokowi menyayangkan perangkat teknologi dan alat komunikasi yang digunakan di Tanah Air saat ini masih didominasi oleh barang-barang impor.

Baca Selengkapnya