TEMPO Interaktif, Di usianya yang hampir dua tahun, Andra amat terampil mencoret-coret tembok rumah neneknya dengan spidol. Ia sudah hampir bisa menggambar kupu-kupu atau bebek, meski bentuknya tidak keruan. Anak batita ini sering juga bermain peran, seperti bermimik sedih atau pura-pura berekspresi lucu saat digoda ayahnya. Namun kegirangan Andra kadang berubah jadi ketakutan, tatkala sang ayah berperan sebagai raksasa atau sesuatu yang tidak disukainya. "Atut (takut)," kata Andra.
Perilaku aktif sang ayah ini sebenarnya sudah membantu perkembangan koneksi otak si kecil. Sebab, si buah hati memerlukan lingkungan yang menarik untuk dijelajahi, dan dipenuhi orang yang memberi tanggapan terhadap kebutuhan emosi dan intelektualnya. Si buah hati butuh orang yang mau bernyanyi, memeluk, berbicara, menggendong, dan membacakan cerita untuknya.
Ya, apa pun bentuk permainannya, seperti dikatakan dr Su Laurent, dokter spesialis anak (pediatri) Rumah Sakit Barnet, London, Inggris, dalam buku Ensiklopedia Perkembangan Bayi, kegiatan ini amat penting bagi perkembangan bayi. Dengan bermain, anak mengenali dunia sekitarnya, mengembangkan kemampuan motorik, dan belajar berkomunikasi.
Bermain dengan si buah hati sejak awal, kata Laurent, juga merupakan cara terbaik membentuk ikatan batin. "Bermain dengan si kecil penting untuk membuat anak merasa aman dan dicintai," ujarnya.
Psikolog Anna Surti Ariani, Psi, mengatakan, adalah peran penting orang tua untuk membimbing dan menuntun anak dalam proses tumbuh-kembangnya. Untuk itu, dia mendorong orang tua memfasilitasi anak bermain dengan beragam permainan. "Bisa dimulai dengan menyelami bagaimana sifat tumbuh-kembang anak dari usia nol hingga si anak besar," ujar Anna seusai seminar bertajuk "Mengoptimalkan Periode Emas Perkembangan Anak dengan Parenting Encyclopedia" di Jakarta beberapa waktu lalu.
Misalnya, dengan memahami bahwa pada usia tiga bulan si mungil sudah dapat memfokuskan mata pada jarak yang lebih jauh, di mana ia akan selalu mencoba meraih benda yang ada di hadapannya.
Menurut Laurent, di usia tiga bulan, sangat tepat untuk orang tua membelikan mainan. Lalu pada bulan keempat, si kecil masih belajar mengukur jauhnya jarak sebuah benda. Orang tua akan melihat dia bakal menatap tangannya dulu, baru kemudian mainannya. Baru pada usia lima bulan, ia akan meraih serta menggenggam barang dengan ketepatan dan kemudahan yang jauh lebih tinggi.
Seterusnya, ia akan mengeksplorasi sebanyak mungkin mainan dan memasukkan semua benda ke dalam mulut. Si kecil juga akan menyelidiki segala hal. Ia akan tertarik pada benda-benda harian, seperti sendok, kunci, dan telepon. Ia juga sangat senang membantu ayahnya. Jadi, menurut Laurent, biarkanlah si kecil mengeluarkan sayuran dari keranjang belanjaan atau memasukkan kotak sereal ke dalam lemari.
Selain itu, si buah hati berumur di bawah dua tahun akan menikmati berbagai bunyi. Ia akan girang bila pada waktu tengkurapnya dibaringkan di sebuah alas bermain dengan desain khusus. Alas ini memiliki area yang bergemeretak, bergemerincing, dan menguik jika disentuh atau dilewati si kecil ketika berguling. Orang tua bisa membuatnya dari kaleng kecil berisi beras atau gumpalan kertas. Selain itu, lakukan tepuk tangan mengikuti irama. Atau cobalah memainkan lagu lewat kotak musik yang ada di dekat tempat tidurnya.
Para bayi juga amat suka bouncer (mainan seperti ayunan yang bisa dilambung-lambungkan), yang digantung di atas kusen pintu atau langit-langit. Waktu selama 10 menit barangkali sudah cukup bagi si buah hati untuk bermain bouncer ini. Lalu ajaklah si kecil memainkan permainan yang disukai bayi di seluruh dunia, yaitu cilukba.
Menurut Laurent, dalam bukunya itu, ada berbagai versi cilukba di hampir semua budaya. Permainan ini mengajari si kecil, yang belum mengerti bahwa benda terus ada walau tak terlihat. Ini disebut sifat permanen suatu benda (object permanen). Nah, permainan cilukba yang ringan ini akan mengajarkannya konsep tersebut. "Malah cilukba mungkin akan menjadi permainan favoritnya selama berbulan-bulan," tulis Laurent.
Jika sedikit sudah besar, katakanlah 3-5 tahun, Anna menunjuk permainan tradisional sebagai pilihan untuk anak. Permainan lokal, misalnya petak jongkok, akan melatih kecerdasan fisik. Sebab, di permainan itu dituntut koordinasi motorik kotor dan halus. Dalam permainan ini, anak juga akan cerdas secara strategi, karena harus mengatur kapan dia jongkok dan kapan berdiri. "Permainan tradisional ini membuat anak senang. Ini membentuk emosi anak menjadi positif, dan jadi stimulasi untuk kecerdasan emosinya," ujarnya.
Permainan ini juga menstimulasi kecerdasan sosial anak. Lebih dari itu, secara tak langsung, nilai moral dibahas dalam petak jongkok. "Kamu benar apa enggak tadi jongkok, kamu sebenarnya kena apa enggak," ujarnya. Apalagi yang namanya mengajari anak tentang moral, bukan dari pelajaran di sekolah yang cuma duduk dan menulis. "Dengan si kecil bergerak, dia malah mendapat pelajaran yang nyata," Anna menjelaskan.
Namun, dari semua permainan itu, hal yang terpenting adalah menikmati waktu bermain dengan si kecil, agar ia terstimulasi dengan rutin. "Buah hati yang tidak terstimulasi kemungkinan akan menarik diri dan gagal berinteraksi dengan orang lain. Begitu dasar sosial ini hilang, hampir tidak mungkin untuk membangunnya lagi," tulis Laurent.
| HERU TRIYONO