TEMPO.CO, Jakarta- Dr. dr. Dwidjo Saputro, SpKJ, Ketua Asosiasi Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja Indonesia meyakini terapi melukis memiliki pengaruh positif pada autisme, skizofernia, depresi, dan banyak masalah kejiwaan lainnya.
"Sama seperti orang normal, karya seni merupakan persepsi dan ekspresi atas apa yang diterima inderanya," ujarnya ketika ditemui di klinik SmartKid, Tanjung Duren Jakarta, Barat, Kamis, 11 April 2013.
Pada pasien skizofernia, misalnya, lukisan bisa menjadi bentuk komunikasi dari alam bawah sadarnya. "Memang skizofernia merupakan masalah neurobiologis, tapi secara psikologis ada trauma alam bawah sadar yang melukainya," kata Dwidjo. Di banyak rumah sakit jiwa, kata Dwidjo, pasien skizofrenia dengan yang telah melewati fase kuratif dan masuk ke fase rehabilitasi mendapatkan terapi ini. Terapi ini membantu pasien beradaptasi, dan menyalakan kembali hasrat hidupnya. "Karena mereka mampu menyampaikan apa yang ada di pikirannya," kata Dwidjo.
Sementara bagi penderita autisme yang tidak mempedulikan dunia luar, lukisan merupakan bentuk komunikasi intrapersonal, yang terjadi dalam dirinya sendiri. Ini bisa dimafaatkan terapis untuk mengetahui apa yang tengah dipikirkan dan dirasakan oleh pasien.
Terapi ini juga bermanfaat untuk orang dengan conduct disorder, kondisi dimana seseorang terus menerus melakukan pembangkangan atas norma atau aturan normal. "Penderitanya merasa asing, tidak diterima oleh masyarakat, dan terus melakukan pembangkangan karena dia pikir dengan cara itu ia nantinya bisa diterima," kata Dwidjo. Lukisan, atau karya seni lain dapat menjadi jalan pembuka untuk memahami individu dengan masalah ini.
"Ini yang dibutuhkan oleh mereka, bahwa mereka memiliki makna dalam hubungan dengan manusia, bukan lagi benda asing," katanya.
Tidak hanya sebagai terapi psikologis, terapi melukis juga memiliki manfaat untuk tubuh. Di SmartKid, klinik terapi anak kesulitan belajar dan masalah kejiwaan yang didirikan Dwidjo, kegiatan melukis dan menggambar dimasukkan dalam terapi Okupansi dan Sensori Integrasi. Terapi okupansi melatih anak untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang memerlukan koordinasi dan kemampuan motorik halus, misalnya mengikat tali sepatu.
"Banyak anak dengan gangguan perkembangan tidak dapat melakukannya dengan sempurna," kata Dwidjo. Hal ini dapat dilatih dengan kegiatan menggambar, lewat latihan cara memegang pensil atau dan menggoreskannya ke atas kertas.
Sementara itu terapi Sensori Integrasi melatih anak untuk mengintegrasikan input sensorik yang didapatnya dari panca indera untuk kemudian direspon dengan tepat secara motorik. Kegiatan melukis membantu anak untuk mempersepsi lingkungannya, dan sepanjang proses tersebut kemampuan untuk berkosentrasi dan menunjukkan atensi juga ikut dilatih.
"Untuk melakukan terapi seni memang syaratnya anak sudah tenang, yang gaduh belum bisa,"kata Dwidjo. Karena perbedaan masalah dan levelnya, ujar Dwidjo, pemeriksaan awal untuk menentukan terapi bagi anak mutlak diperlukan.
"Karena setiap anak memiliki masalah berbeda, tentu membutuhkan terapi yang berbeda, sesuai dengan kebutuhannya," katanya.
RATNANING ASIH