Desember, Uji Klinis Terapi Ebola Pertama  

Reporter

Jumat, 14 November 2014 06:01 WIB

Petugas Kesehatan melakukan pemeriksaan seorang penumpang yang terjangkit penyakit infeksi Ebola dalam simulasi penanggulangan wabah Ebola untuk memperingati Hari Kesehatan Nasional ke-50, di Monas, Jakarta, 12 November 2014. Kementerian Kesehatan melakukan persiapan tindakan untuk mewaspadai masuknya virus ebola. TEMPO/Imam Sukamto

TEMPO.CO, Jakarta - Sejak membuat geger pada awal Maret 2014, ebola seakan-akan menjadi momok bagi masyarakat dunia. Penyakit menular yang mematikan ini membuat penduduk di kawasan Afrika Barat terkucil, lantaran sejumlah negara melarang kedatangan mereka. Hingga saat ini, meski korban sudah mencecah 5 ribu jiwa yang meninggal, belum ada terapi efektif yang dianggap jitu.

Sejumlah organisasi kesehatan non-pemerintah memutuskan memulai penelitian terhadap ebola pada Desember mendatang. "Sebagai salah satu penyedia utama perawatan medis untuk pasien ebola di Afrika Barat, MSF turut serta dalam uji klinis yang dilakukan untuk memberikan peluang sembuh yang lebih tinggi kepada mereka yang terkena wabah,” kata dokter Annick Antierens, yang menjadi koordinator kemitraan Médecins Sans Frontières atau Dokter Lintas Batas, dalam siaran pers yang diterima Tempo, Jumat, 14 November 2014. (Baca juga: Masih Masa Inkubasi Pasien Terduga Ebola Madiun Dipulangkan)

MSF akan bekerja sama dengan Lembaga Riset Kesehatan dan Medis Prancis (INSERM) yang memimpin uji coba penggunaan obat antivirus favipiravir di Guéckédou, Guinea; Antwerp Institute of Tropical Medicine (ITM) dengan pilihan uji klinis atas terapi darah lengkap dan plasma di pusat ebola di Conakry, Guinea; dan University of Oxford yang mewakili International Severe Acute Respiratory and Emerging Infection Consortium (ISARIC dengan uji klinis yang didanai Wellcome Trust terhadap obat antivirus brincidofovir di lokasi yang belum ditentukan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) juga menyatakan dukungannya. (Baca juga: Pasien Terduga Ebola di Kediri Dibolehkan Pulang)

Dua obat, yaitu brincidofovir dan favipiravir, terpilih karena lolos dari pemeriksaan WHO terhadap keamanan dan kemanjuran, ketersediaan produk, dan kemudahan pemberian obat. Pada pasien yang terinfeksi, akan dilakukan terapi darah atau plasma. Mereka akan diberikan darah atau plasma yang mengandung antibodi pasien yang berhasil sembuh. Metode ini sudah mendapat persetujuan WHO. (Baca juga: Suspect Ebola Madiun Bekerja 8 Bulan di Liberia)

“Plasma pasien sembuh yang mengandung antibodi terhadap patogen telah digunakan secara aman untuk penyakit menular lainnya,” kata Johan van Griensven, koordinator peneliti uji klinis dari ITM. “Kami ingin mengetahui apakah cara ini juga manjur untuk ebola, apakah aman dan dapat dilakukan pada skala lebih besar untuk mengurangi jumlah kematian akibat wabah ebola."

Profesor Peter Horby, kepala peneliti dalam uji klinis yang dipimpin ISARIC, mengatakan, “Melakukan uji klinis obat di tengah krisis kemanusiaan adalah pengalaman baru bagi kami semua, tetapi kami bertekad untuk tidak mengecewakan masyarakat Afrika Barat." Daerah endemik ebola utama di Afrika Barat adalah Guinea, Sierra Leone, Liberia, dan Nigeria.

DIANING SARI

Berita lain:
Bubarkan FPI, Fadli Zon: Cara Berpikir Ahok Anarki
Mabes Polri Sarankan Ahok Laporkan FPI ke Polisi
KPK Curigai Penjualan Bank Mutiara




Berita terkait

Hati-hati, Asap Rokok Tingkatkan Risiko Kanker Paru hingga 20 Kali Lipat

16 hari lalu

Hati-hati, Asap Rokok Tingkatkan Risiko Kanker Paru hingga 20 Kali Lipat

Hati-hati, asap rokok dapat meningkatkan 20 kali risiko utama kanker paru, baik pada perokok aktif maupun pasif. Simak saran pakar.

Baca Selengkapnya

Bukan Perokok tapi Kena Kanker Paru, Ini Sederet Penyebabnya

26 hari lalu

Bukan Perokok tapi Kena Kanker Paru, Ini Sederet Penyebabnya

Bukan hanya perokok, mereka yang tak pernah merokok sepanjang hidupnya pun bisa terkena kanker paru. Berikut sederet penyebabnya.

Baca Selengkapnya

Gejala Kanker Paru pada Bukan Perokok

26 hari lalu

Gejala Kanker Paru pada Bukan Perokok

Gejala kanker paru pada bukan perokok bisa berbeda dari yang merokok. Berikut beberapa gejala yang perlu diwaspadai.

Baca Selengkapnya

BRIN Kembangkan Terapi Kanker Paru Gunakan Nanopartikel

43 hari lalu

BRIN Kembangkan Terapi Kanker Paru Gunakan Nanopartikel

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengembangkan metode terapi penyakit kanker paru menggunakan material nanopartikel.

Baca Selengkapnya

Pemeriksaan Kanker Paru dengan EFGR, Cek Kelebihannya

4 Maret 2024

Pemeriksaan Kanker Paru dengan EFGR, Cek Kelebihannya

Pakar mengatakan pemeriksaan mutasi EGFR merupakan jenis yang dilakukan untuk kanker paru untuk menentukan pengobatan yang tepat.

Baca Selengkapnya

Gejala Kanker Paru yang Sering Tersamar Kondisi Lain, Waspadalah

3 Maret 2024

Gejala Kanker Paru yang Sering Tersamar Kondisi Lain, Waspadalah

Gejala kanker paru bisa tak disadari karena sering mirip penyakit lain, bahkan tak ada gejala sama sekali. Karena itu, penting melakukan skrining.

Baca Selengkapnya

Dari Tauge sampai Tomat, Makanan yang Disebut Bisa Menangkal Kanker

1 Maret 2024

Dari Tauge sampai Tomat, Makanan yang Disebut Bisa Menangkal Kanker

Pakar gizi menyebut enam makanan yang bisa membantu menurunkan risiko kanker dan mayoritas mudah ditemukan dengan harga murah.

Baca Selengkapnya

Pulmonolog Ingatkan Merokok Penyebab 85 Persen Kasus Kanker Paru

25 Februari 2024

Pulmonolog Ingatkan Merokok Penyebab 85 Persen Kasus Kanker Paru

Menurut WHO, sekitar 85 persen kanker paru berhubungan dengan kebiasaan merokok. Simak saran pakar pulmonologi.

Baca Selengkapnya

Pakar Sarankan Skrining Awal untuk Permudah Pengobatan Kanker

6 Februari 2024

Pakar Sarankan Skrining Awal untuk Permudah Pengobatan Kanker

Skrining awal dikatakan spesialis onkologi radiasi dapat meningkatkan angka kesembuhan serta mengontrol efek samping pengobatan kanker.

Baca Selengkapnya

Tak Bisa Lagi Pakai Obat Rumahan, Kapan Waktunya Batuk Perlu Diperiksa ke Dokter?

16 Januari 2024

Tak Bisa Lagi Pakai Obat Rumahan, Kapan Waktunya Batuk Perlu Diperiksa ke Dokter?

Batuk sebenarnya wajar saja tapi bila gejala semakin parah atau terjadi lama, akibatnya bisa mengiritasi paru-paru. Kapan perlu ke dokter?

Baca Selengkapnya