Waspada Anak Down Syndrome dan Cacat Lahir Bila Menikah Usia Dini

Reporter

Tabloid Bintang

Editor

Mitra Tarigan

Rabu, 28 November 2018 11:40 WIB

Tahani (gaun merah muda), 6 tahun, dan suaminya Majid, 25 tahun. Satu lagi Ghada, 6 tahun, dan suaminya. (National Geographic)

TEMPO.CO, Jakarta - Ada banyak alasan orang praktik perkawinan usia dini di Indonesia. Padahal, perkawinan pada usia anak, yakni di bawah usia 18 tahun, merupakan masalah yang sangat serius karena mengandung berbagai risiko dari berbagai aspek. Antara lain kesehatan, psikologi, dan sosiologi. Badan kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sendiri menyebutkan usia perkawinan yang wajar, yaitu 21 tahun untuk perempuan dan 25 tahun untuk laki - laki. Sehingga mereka yang melakukan perkawinan di bawah usia tersebut bisa dikategorikan pernikahan yang tidak wajar, karena usia belum matang, organ intim dan reproduksi sedang berkembang, serta mental yang masih belum stabil.

Baca: Mengajarkan Gizi pada Anak dengan Mengajak Masak di Dapur

"Perlu menunda hubungan seksual hingga umur, biologis, dan mental menjadi dewasa serta finansial yang memadai karena perkawinan usia anak tidak memberikan dampak positif pada siapapun dan hanya menambah beban sosial dan ekonomi bagi keluarga dan bagi bangsa," kata Vice President of Life Operation Division Sequis Eko Sumurat dalam keterangan persnya.

Jika perkawinan usia dini tidak segera diatasi, dampaknya akan semakin kompleks yaitu dampak kemanusiaan, kesehatan, ekonomi, dan masih banyak lagi. "Anak-anak Indonesia akan menjadi generasi penerus bangsa, jika mereka tumbuh dengan kesehatan yang tidak layak, cacat genetik, emosi yang tidak stabil serta pendidikan yang tidak berkualitas maka beban yang kita tanggung di masa depan akan lebih tinggi,” tambah Eko.

Kecemasan yang diungkap Eko Sumurat beralasan. Menurut dokter spesialis jiwa OMNI Hospitals Pulomas Jakarta, Jimmi MP Aritonang, secara psikologis perkawinan usia anak bisa menyebabkan trauma dan krisis percaya diri. Dampak psikologis lain adalah emosi yang tidak berkembang dengan matang. "Kepribadiannya cenderung tertutup, mudah marah, putus asa, dan mengasihani diri sendiri. Hal ini karena si anak belum siap untuk menjadi istri, pasangan seksual, dan menjadi ibu atau orang tua,” kata Jimmi.

Selain itu, perkawinan usia anak juga menyebabkan gangguan kognitif, seperti tidak berani mengambil keputusan, kesulitan memecahkan masalah, dan terganggunya memori. "Dominasi pasangan rentan menyebabkan terjadinya ketidakadilan, kekerasan rumah tangga, serta terjadinya perceraian. Di sisi lain, tuntutan bersosialisasi dalam masyarakat atau menghadapi pandangan masyarakat akan membuat si anak merasa tertekan dan cenderung menutup diri dari aktivitas sosial. Hal ini dapat menyebabkan produktivitas menurun dan sedikit peluang untuk melanjutkan pendidikan," kata Jimmi.

Sementara dari segi biologis, perkawinan usia anak, khususnya pada remaja perempuan yang hamil dan melahirkan, rawan mengalami gangguan mental pasca melahirkan. Seperti depresi setelah melahirkan (baby blues syndrome) yang terjadi karena perubahan hormon, kelelahan, tekanan mental, dan merasa kurangnya bantuan ketika melahirkan.

Advertising
Advertising

Health Claim Senior Manager Sequis Yosef Fransiscus menambahkan anak secara fisik belum matang untuk melakukan hubungan seksual, mengalami hamil, dan melahirkan. "Perkawinan usia anak, rentan terjadi dominasi oleh pasangan yang lebih tua. Sehingga kemungkinan pasangan yang lebih muda tidak berani untuk meminta hubungan seks dengan alat pengendali kehamilan agar tidak hamil di usia muda, padahal hubungan seksual yang dilakukan di usia dini, secara terpaksa, dan tanpa pengetahuan dasar kesehatan reproduksi akan memicu kemungkinan kerusakan organ intim. Efek lainnya adalah hilangnya kemampuan orgasme dan kemampuan ovulasi/hamil di jangka panjang," kata Yosef.

Gangguan mental dan kesehatan ibu hamil ternyata berdampak juga pada anak yang dilahirkan. “Pada anak yang dilahirkan, rawan terjadi gangguan mental seperti down syndrome serta berisiko mendapatkan berbagai masalah kesehatan, emosional, dan sosial jika dibandingkan mereka yang lahir dari pernikahan usia matang dan bahagia," kata Jimmi.

Gangguan pada kesehatan, misalnya terjadi cacat lahir juga bisa dialami anak hasil pernikahan usia dini. "Akibat tulang belakang bayi yang gagal berkembang, terbentuk celah atau defek pada tulang belakang dan saraf tulang belakang (spina bifida)," kata Yosef.

Baca: Perkawinan Gading dan Gisella Retak, Penting Pahami Psikis Anak

Kesulitan anak perempuan dari pasangan perkawinan usia anak tidak hanya dirasakan pada saat hamil dan melahirkan, tetapi juga saat membesarkan anak. Akibat keterbatasan finansial dan mobilitas, serta keterbatasan berpendapat seringkali membuat anak perempuan tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan mengasuh bayinya termasuk juga ketidaksiapan emosional orang tua karena memiliki anak. Akibatnya, dapat terjadi risiko penelantaran bayi atau pengasuhan yang tidak tepat. Jika ini terjadi maka pada perkembangan lanjutannya, anak dapat mengalami keterlambatan perkembangan, kesulitan belajar, gangguan perilaku, dan cenderung menjadi orang tua pula di usia dini.

TABLOID BINTANG

Berita terkait

Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

2 hari lalu

Jokowi: Daerah Kepulauan Indonesia Kekurangan Dokter Spesialis

Jokowi mengatakan kemampuan produksi dokter spesialis Indonesia hanya 2.700 per tahun.

Baca Selengkapnya

Anak Pemimpin Sudan Tewas dalam Kecelakaan di Turki

3 hari lalu

Anak Pemimpin Sudan Tewas dalam Kecelakaan di Turki

Anak panglima militer dan pemimpin de facto Sudan meninggal di rumah sakit setelah kecelakaan lalu lintas di Turki.

Baca Selengkapnya

Mengapa Bayi Harus Diimunisasi?

4 hari lalu

Mengapa Bayi Harus Diimunisasi?

Bayi harus menjalani imunisasi karena beberapa alasan tertentu yang akan dibahas dalam artikel ini.

Baca Selengkapnya

10.000 Warga Palestina Hilang di Gaza, 210 Hari Sejak Serangan Israel Dimulai

4 hari lalu

10.000 Warga Palestina Hilang di Gaza, 210 Hari Sejak Serangan Israel Dimulai

Sejauh ini, 30 anak telah meninggal karena kelaparan dan kehausan di Gaza akibat blokade total bantuan kemanusiaan oleh Israel

Baca Selengkapnya

6 Bahaya Bayi yang Tidak Diimunisasi

4 hari lalu

6 Bahaya Bayi yang Tidak Diimunisasi

Bayi penting untuk melakukan imunisasi secara rutin agar terhindar dari bahaya kesehatan mendatang. Lantas, apa saja bahaya bagi bayi yang tidak melakukan imunisasi?

Baca Selengkapnya

Saran Psikolog agar Anak Berkembang di Bidang Seni

5 hari lalu

Saran Psikolog agar Anak Berkembang di Bidang Seni

Orang tua perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk bereksplorasi di berbagai bidang, baik seni maupun bidang lain.

Baca Selengkapnya

Uang Kementan untuk Keluarga Syahrul Yasin Limpo: dari Tagihan Parfum, Skincare, Kafe, hingga Sunatan

8 hari lalu

Uang Kementan untuk Keluarga Syahrul Yasin Limpo: dari Tagihan Parfum, Skincare, Kafe, hingga Sunatan

Dalam sidang terungkap bekas Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo alias SYL acapkali menggunakan uang Kementan untuk keperluan pribadi.

Baca Selengkapnya

Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

11 hari lalu

Konimex dan Indordesa Luncurkan Produk Baru Makanan Nutrisi FontLife One, Bidik Pasar Dewasa Muda

PT Indordesa-- anak perusahaan PT Konimex, meluncurkan produk makanan nutrisi dan perawatan kesehatan, FontLife One, di Kota Solo, Jawa Tengah.

Baca Selengkapnya

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

12 hari lalu

Aliansi Kecam Kehadiran Industri Plastik dan Kimia dalam Delegasi Indonesia untuk Negosiasi Perjanjian Plastik

Kehadiran itu membahayakan tujuan perjanjian, yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan.

Baca Selengkapnya

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

12 hari lalu

Sejak 2021, Jokowi 6 Kali Sampaikan Keresahan WNI Pilih Berobat ke Luar Negeri

Presiden Joko Widodo atau Jokowi acap menyampaikan keresahannya soal warga negara Indonesia yang berbondong-bondong berobat ke negara lain, alih-alih dalam negeri.

Baca Selengkapnya