TEMPO.CO, Jakarta - Tak semua pasien gagal jantung dapat menikmati Cardiac Resynchronization Therapy (CRT) Defibrillator, alat untuk menyinkronisasi gerak dinding-dinding jantung. Sebab, sebagian pasien dengan penyakit ini masih bisa diterapi dengan jenis terapi lain.
Dokter jantung dan pembuluh darah, Yoga Yuniadi, menyebut dua kriteria utama pasien yang diperbolehkan menggunakan alat ini. Pertama, pasien gagal jantung harus mengalami fraksi ejeksi di bawah 35 persen. Umumnya, pasien gagal jantung hanya mengalami 55 persen fraksi injeksi.
Menurut Yoga, pada fraksi ejeksi 35 hingga 55 persen ini, pasien masih dapat ditangani dengan terapi dan obat-obatan. “Harus di bawah 35 persen karena kalau di atas itu, masih bisa diperbaiki dengan obat,” katanya di Jakarta, Selasa, 2 April 2019.
Meski demikian, pasien dengan fraksi ejeksi di bawah 35 persen juga tidak semudah itu menerima alat pacu jantung CRT. Sebab, mereka harus pernah melalui terapi obat-obatan. Apabila memang sudah resisten, barulah CRT menjadi pilihan terakhir.
“Walaupun pasien tiba-tiba mengalami fraksi ejeksi 35 persen tapi belum pernah minum obat, tetap tidak boleh. Harus resisten obat dulu baru bisa,” katanya.
Kriteria kedua adalah gerakan jantung pasien terbukti tidak sinkron, bukan sekadar lemah. Sebab, tujuan utama dipasangnya CRT adalah untuk memaksimalkan dan mengefektifkan kesinkronan gerakan dari jantung. Untuk memastikannya, Yoga menyarankan untuk memastikan gagal jantung yang dialami pasien dengan pemeriksaan fisik seperti EKG dan Echo.
“Banyak yang datang dan minta dipasang CRT. Harus dibuktikan dulu dengan EKG dan Echo kalau memang terbukti ada kelainan gerakan atau tidak sinkron, baru diperbolehkan untuk pasang,” katanya.