Banyak Mitos dan Hoaks Seputar Vaksin, Bagaimana Faktanya?

Reporter

Bisnis.com

Rabu, 14 Oktober 2020 10:58 WIB

Ilustrasi vaksin COVID-19 atau virus corona. REUTERS/Dado Ruvic

TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat satu dari sepuluh ancaman kesehatan global adalah keraguan orang atas vaksin. Senada dengan hal itu, Windhi Kresnawati, dokter spesialis anak dari Yayasan Orangtua Peduli menyebut beredarnya mitos memang menjadi hambatan program vaksinasi sejak dulu.

Hal itu diungkapkannya dalam Webinar Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPCPEN), Senin, 12 Oktober 2020, yang mengangkat tema "Cek Fakta Seputar Mitos Vaksin". Beikut mitos seputar vaksin yang beredar di tengah masyarakat dan perlu diluruskan:

Penyakit infeksi bisa dihindari dengan gaya hidup sehat saja
Windhi tak menampik pola hidup sehat adalah kebiasaan baik. Namun, ia mengingatkan cara ini belum cukup ampuh untuk mencegah infeksi penyakit tertentu. Fakta soal anggapan ini bisa di lihat di Amerika Serikat. Saat ditemukan vaksin campak di AS pada 1963, penyakit ini berangsur-angsur hilang. Bahkan, pada 1974 pemerintah AS menyatakan bahwa mereka bebas campak.

Perlu digarisbawahi, pola dan gaya hidup warga AS sejak 1963 hingga 1974 tidak ada perubahan. Artinya, peran terbesar atas hilangnya campak di AS adalah imunisasi atau vaksinasi, bukan semata-mata gaya hidup yang sehat.

Kondisi ini mulai berubah saat di AS mulai muncul sekte atau kelompok masyarakat yang meragukan vaksin MMR (campak, beguk, rubella). Kemudian, diikuti dengan semakin banyak orang ragu terhadap peran vaksin campak.

Advertising
Advertising

"Akibatnya, tahun 2018 Amerika Serikat kembali mengalami wabah campak. Ini disebabkan banyak pendatang dari negara lain yang tidak divaksin dan menolak vaksinasi tinggi," ujar Windhi.

Mitos anak yang diimunisasi tetap saja sakit
Windhi menjelaskan bahwa bila pun mengalami sakit, tingkat keparahan yang dialami pasien imunisasi sangat ringan. Anak-anak yang diimunisasi, bila sakit, akan terhindar dari kecacatan dan kematian.

"Dan jangan lupa, kalau tidak diimunisasi dan tidak sakit, berterimakasihlah kepada orang yang diimunisasi karena itulah herd immunity. Ketika kita berada di tengah orang-orang yang sehat, kita tidak terjangkit penyakit," ujar Windhi.

Mitos vaksin ada kandungan zat berbahaya
Windhi menegaskan hal ini keliru. Vaksin yang sudah diproduksi massal harus memenuhi syarat utama, yakni aman, efektif, stabil, dan efisien dari segi biaya. Artinya panjang prosesnya.

"Setelah dinyatakan aman, dipakai oleh masyarakat luas di bawah monitoring. Kalau negara kita di bawah BPOM. Karena satu saja ada temuan efek samping yang tidak diinginkan itu bisa ditarik dan biasanya itu ketahuan di fase awal," ujar Windhi.

Mitos vaksin sebabkan autisme
Windhi memastikan tidak ada kaitannya antara kandungan vaksin terhadap autisme pada anak. Hal ini sudah terbukti pada penelitian mendalam dan panjang, bahkan hingga lebih dari 10 tahun.

Thimerosal merupakan salah satu kandungan vaksin yang sempat dituduh memicu autisme pada anak. Thimerosal ini berfungsi sebagai pengawet vaksin. Amerika Serikat pernah menghapuskan kandungan thimerosal pada 1999 karena takut kandungannya bisa memicu autisme. Tapi, faktanya setelah thimerosal dihapuskan, angka autisme di Amerika Serikat tidak turun.

"Angka autis malah naik. Artinya tidak ada hubungan antara autis dengan thimerosal," kata Windhi.

Peneliti juga melihat kadar thimerosal pada tubuh anak autis dan anak non autis. Hasilnya, tidak ada perbedaan di antara keduanya. Hal ini semakin menguatkan bahwa thimerosal tidak menyebabkan autisme, melainkan genetika.

"Jadi jangan termakan hoaks dengan thimerosal penyebab autisme. Banyak sekali penelitiannya dan mudah sekali mencarinya di internet,” imbaunya.

Mitos vaksin mengandung sel janin aborsi
Windhi pun membantah hal ini. Ia menjelaskan virus memang perlu inang berupa sel hidup untuk bisa bertahan dan berkembang biak. Misalnya, virus campak, rubella, polio, bahkan virus corona memerlukan inang berupa sel hidup.

Dalam pembuatan vaksin, virus memang akan menginfeksi sel hidup itu dan diproduksi berulang-ulang selama bertahun-tahun dengan meninggalkan sel awal. Sedangkan, yang diambil sebagai komponen vaksin adalah bagian dari virus atau virusnya tersendiri.

"Jadi, kalau ada yang bilang ada sel janin yang digunakan, itu terjadi pada tahun 1960-an, di mana digunakan secara legal untuk membuat vaksin dan itu sekali saja proses yang terjadi. Lantas apakah dalam vaksin ada sel janin? Jawabannya, hanya ada hasil produknya, yakni berupa virusnya saja," kata Windhi.

Mitos penyakit yang sudah ada vaksin tak perlu vaksinasi lagi
Ini pun jelas hoaks. Banyak riset menunjukkan bahwa penurunan angka vaksinasi memicu kenaikan penyakit spesifik yang dilawan vaksin tersebut. Hal ini sempat terjadi di Indonesia pada medio akhir 2017.

Awalnya, wabah difteri terjadi di Jawa dan merambah ke Sumatra. Pemerintah pun memutuskan untuk melakukan imunisasi nasional dan menggratiskan imunisasi difteri hingga usia 19 tahun.

"Di AS juga terjadi, tahun 2018 angka imunisasi turun dan muncul lagi. Polio sempat muncul kembali di Papua, padahal kita pernah dapat bendera bebas polio dari WHO. Campak rubella masih mengancam karena banyak hoaks tadi. Jadi, hati-hati kalau angka mulai turun dan kita hadapi wabah ini sangat menderita," jelas Windhi.

Isu halal-haram vaksin
Windhi menyampaikan isu ini hanya terjadi di Indonesia. Bahkan, di Timur Tengah dengan negara berpenduduk mayoritas muslim, pro kontra terhadap kehalalan vaksin tidak terjadi. Semua masyarakat dunia pun sepakat pentingnya vaksin.

"Dan peserta haji wajib divaksin. Makanya saya bilang lucu, kenapa di kita doang. Jadi pemicunya ada Trypsin yang dipinjam dari enzim babi untuk hasilkan panen yang baik supaya dapat komponen vaksin," kata Windhi.

Ia mengatakan, masyarakat perlu memahami bahwa tidak ada bagian babi yang masuk dalam vaksin. Enzim ini akan dimurnikan kembali, sehingga komponen perantara tidak ikut masuk pada vaksin. Ketika dalam proses pembuatannya bersinggungan dengan enzim dari babi, pada produksi akhirnya hanya virus yang masuk dalam vaksin.

"Seandainya tetap tidak mau. Karena bersinggungan, kita merujuk negara lain yang maju yang mayoritas muslim dan MUI yang sudah sampaikan halal. Untuk kebaikan dan dalam keadaan mencegah penyakit yang lebih berat dan berbahaya, vaksin halal," jelasnya.

Berita terkait

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

8 jam lalu

Viral Efek Samping Vaksin AstraZeneca, Guru Besar FKUI Sebut Manfaatnya Jauh Lebih Tinggi

Pada 2021 lalu European Medicines Agency (EMA) telah mengungkap efek samping dari vaksinasi AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

2 hari lalu

Komnas PP KIPI Sebut Tidak Ada Efek Samping Vaksin AstraZeneca di Indonesia

Sebanyak 453 juta dosis vaksin telah disuntikkan ke masyarakat Indonesia, dan 70 juta dosis di antaranya adalah vaksin AstraZeneca.

Baca Selengkapnya

Pembekuan Darah Usai Vaksinasi AstraZeneca, Epidemiolog: Kasusnya Langka dan Risiko Terkena Minim

2 hari lalu

Pembekuan Darah Usai Vaksinasi AstraZeneca, Epidemiolog: Kasusnya Langka dan Risiko Terkena Minim

Pasien pembekuan darah pertama yang disebabkan oleh vaksin AstraZeneca adalah Jamie Scott.

Baca Selengkapnya

Vaksinasi Masih Jadi Tantangan, Banyak Orang Termakan Mitos Keliru

4 hari lalu

Vaksinasi Masih Jadi Tantangan, Banyak Orang Termakan Mitos Keliru

Masih ada warga yang menganggap vaksinasi dapat menyebabkan kematian sehingga pelaksanaannya masih sering menemui kendala.

Baca Selengkapnya

Alasan Masyarakat Perlu Imunisasi Seumur Hidup

6 hari lalu

Alasan Masyarakat Perlu Imunisasi Seumur Hidup

Imunisasi atau vaksinasi tidak hanya diperuntukkan bagi bayi dan anak-anak tetapi juga orang dewasa. Simak alasannya.

Baca Selengkapnya

CekFakta #257 Hoaks Deepfake Menipu Konsumen dan Mengancam Bisnis

9 hari lalu

CekFakta #257 Hoaks Deepfake Menipu Konsumen dan Mengancam Bisnis

Deepfake, kini semakin mudah dibuat dan semakin sulit dikenali. Dampak yang ditimbulkan oleh penipuan deepfake pun, tidak main-main.

Baca Selengkapnya

Jenis Vaksin yang Dianjurkan Pakar untuk Jemaah Haji

10 hari lalu

Jenis Vaksin yang Dianjurkan Pakar untuk Jemaah Haji

Empat jenis vaksin sangat penting bagi jemaah haji, terutama yang masuk populasi berisiko tinggi seperti lansia dan pemilik komorbid.

Baca Selengkapnya

Beredar Ada Gas di Wilayah IKN, Jubir Otorita Ingatkan Masyarakat Waspadai Hoaks

29 hari lalu

Beredar Ada Gas di Wilayah IKN, Jubir Otorita Ingatkan Masyarakat Waspadai Hoaks

Jubir OIKN sebut video viral soal kandungan gas di wilayah IKN adalah hoaks.

Baca Selengkapnya

Tak Disediakan Vaksinasi Meski Flu Singapura Merebak, Ini Penjelasan IDAI

30 hari lalu

Tak Disediakan Vaksinasi Meski Flu Singapura Merebak, Ini Penjelasan IDAI

Vaksin untuk menangkal penyebaran flu Singapura belum ada di Indonesia, padahal tingkat penyebaran dan infeksinya cukup signifikan mengalami lonjakan.

Baca Selengkapnya

Mitos La Ode Wuna, Siluman Separuh Ular yang Menjadi Nenek Moyang Migrasi Masyarakat Sulawesi Tenggara ke Maluku

39 hari lalu

Mitos La Ode Wuna, Siluman Separuh Ular yang Menjadi Nenek Moyang Migrasi Masyarakat Sulawesi Tenggara ke Maluku

Dosen UI, melalui BRIN, mengangkat kajian mengenai mitos siluman setengah ular. Erat kaitannya dengan sejarah pergerakan masyarakat Sulawesi Tenggara.

Baca Selengkapnya