Segarnya sajian dawet telasih Pasar Gede kerap membuat kangen warga Surakarta yang merantau ke luar kota. Mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari misalnya, dia selalu menyempatkan diri untuk menikmati sajian dawet telasih ketika pulang ke tanah kelahirannya.
Sepintas, dawet telasih Bu Dermi tersebut tidak jauh berbeda jika dibandingkan dengan dawet lain. Bahkan tempat berjualannya pun sempit, dan hanya disediakan sekitar lima tempat duduk bagi pengunjung yang ingin minum dawet di tempat tersebut. Aroma kurang sedap juga cukup terasa, sebab penjual dawet tersebut berada di dekat penjual daging serta ikan asin.
Namun kondisi yang kurang sedap tersebut akan hilang seketika jika telah menikmati segarnya santan bercampur cendol yang dijual seharga Rp 4.000 tiap porsi tersebut. Sajian dawet yang disajikan oleh generasi keempat dari Bu Dermi tersebut memang cukup lengkap.
Selain cendol hasil buatan sendiri, dawet tersebut juga dilengkapi dengan bubur sumsum, ketan hitam, biji telasih serta irisan nangka. Jika pembeli ingin lebih lengkap, dengan menambah uang sebesar Rp 500 maka penjual akan menambahkan tape ketan yang cukup lezat. Campuran gula yang tepat membuat dawet terasa segar ketika masuk ke kerongkongan.
Hampir semua bahan yang tersaji dalam dawet telasih tersebut merupakan buatan sendiri. “Untuk memastikan jika bahan yang digunakan benar-benar sehat dan aman dikonsumsi,” kata Tulus Subekti, generasi keempat dari Bu Dermi. Untuk pewarna cendol misalnya, dia memilih menggunakan daun suji daripada memakai bahan pewarna yang dijual di pasaran.
Meski saat ini sudah ada beberapa pedagang serupa, dawet telasih Bu Dermi tetap banyak dicari. Maklum, dawet telasih Bu Dermi sudah ada sejak pasar tersebut selesai dibangun pada 1930. Penjual dawet tersebut masih tetap eksis meski Pasar Gede telah dua kali direnovasi akibat kebakaran yang terjadi pada tahun 1947 serta 1999.
Tiap hari, Tulus Subekti mulai berjualan pada pukul 07.00 WIB. Biasanya, dia berhasil menjual 400 porsi dalam waktu beberapa jam. Namun jika hari libur, seluruh dagangannya ludes sebelum tengah hari. Pembeli pun harus rela minum dawet sembari berdiri dan berdesakan.
Salah seorang pembeli, Diah Marwanti mengaku selalu singgah di dawet telasih Bu Dermi tiap berbelanja ke Pasar Gede, dua kali sepekan. Namun, dia memilih membeli untuk dibawa pulang. “Buat oleh-oleh di rumah,” kata Diah.
AHMAD RAFIQ