TEMPO Interaktif, Jakarta -Dizca, 44 tahun, seorang manajer humas sebuah perusahaan farmasi, mengaku didera kelelahan yang luar biasa. Kelelahan ini dirasa sangat menyiksa dirinya. Apalagi kelelahan ini biasa membelenggu Dizca setiap Senin, ketika dia harus mempresentasikan perencanaan rutin di kantornya.
"Padahal aku pada setiap akhir pekan sudah melakukan penyegaran dengan berbagai cara. Mulai yoga, meditasi, hingga beristirahat yang cukup. Tetap saja I don't like Monday, rasanya seperti monster!" katanya. Kecemasan Dizca beralasan lantaran situasi begini sudah membelenggunya selama tujuh tahun.
Berbeda dengan artis Christine Hakim, yang mengaku pada suatu waktu sering merasakan fatigue atau menurut dia adalah kelelahan luar biasa. "Kalau menghadapi yang begini, aku berpikirnya karena aku sering berada pada situasi tertentu melakukan sebuah pekerjaan yang sangat sibuk dan menyita waktu. Tapi aku sering mengobatinya dengan meditasi dan me-refresh diri," ujarnya.
Keke Sukendar, psikolog dari Klinik Mind of Self, Jakarta, mengatakan saat ini masyarakat urban dan Ibu Kota sering mengalami chronic fatigue syndrome (CFS) atau sindrom kelelahan kronis dengan gejala berupa kelelahan yang hebat. Kemudian berlanjut pada gejala lain, seperti merasa lemah, demam, sakit kerongkongan, kebingungan, depresi, dan berkurangnya kemampuan memusatkan pikiran.
"Gejala begini bukan kelelahan biasa. Dan datangnya ada yang bertahun-tahun seperti Dizca. Namun juga ada yang bersifat sementara dan spontan seperti yang dialami Christine Hakim," kata dia.
Menurut Keke, gejala ini bisa bertahan tahunan dan sering dikenal sebagai "yuppie flu", atau sangat umum dikenali menimpa kalangan profesional dan kawula muda yang sibuk. CFS pertama muncul pada pertengahan 1980. Sindrom kelelahan kronis marak terjadi di era tahun tersebut, saat gencar-gencarnya kiprah orang muda dan kaum profesional sukses berkarier menjejali berbagai bidang. Gaya hidup ditambah kesibukan mereka yang tidak mengenal waktu dan tuntutan etos kerja yang tinggi menjadi celah mudahnya seseorang terkena sindrom ini.
Keke menjelaskan, banyak pasien tidak sepenuhnya pulih dari CFS, bahkan dengan pengobatan kuratif. Beberapa pasien menjalani bentuk pengobatan lain, seperti diet, fisioterapi, suplemen diet, antidepresan, pembunuh rasa sakit, serta pengobatan komplementer dan alternatif.
"Hasilnya bervariasi, ada yang sembuh, tapi ada yang kambuhan, dan sembuh sebentar tapi muncul lagi." Psikolog dari Universitas Indonesia ini menuturkan fungsi pengobatan terapi perilaku kognitif (CBT) dan terapi latihan dinilai (GET). Keduanya telah menunjukkan efektivitas pada beberapa pasien di beberapa uji coba terkontrol secara acak. Dari sebuah uji coba kepada 1.043 peserta penderita CFS, disimpulkan bahwa terapi perilaku kognitif tercatat sebagai salah satu pengobatan yang efektif untuk mengurangi gejala sindrom kelelahan kronis.
Keke pun menerangkan, mengatasi CFS bisa dengan strategi manajemen energi yang mendorong perubahan perilaku sementara.
Terapi ini bisa mengetahui fluktuasi tingkat keparahan gejala pasien dan pemulihan latihan tertunda. Keke mengatakan pasien disarankan mengatur kegiatan sehari-hari yang dikelolanya dengan tujuan latihan dan aktivitas keseimbangan.
"Sisanya untuk menghindari over-tenaga yang dapat memperburuk gejala. Mereka (penderita CFS) bisa berfungsi dalam batasan masing-masing, didorong untuk secara bertahap meningkatkan tingkat aktivitas. Latihan terapi ini akan mampu mempertahankan teknik energi pengelolaan dan secara bertahap mampu meningkatkan fungsi rutin kehidupan normal," ujarnya.
| HADRIANI P