TEMPO Interaktif, Sebuah buku direkomendasikan adik saya. Judulnya
9 Summers 10 Autumns, Dari Kota Apel ke The Big Apple. "Bagus, baca deh, inspiratif dan membuat kita selalu bersyukur," kata Idna, adik saya berpromosi. Saya membawa pulang novel karya Iwan Setyawan ini. Halaman demi halaman saya baca. Terus-terang saya dibawa hanyut oleh cara bertutur Iwan. Tanpa jeda, novel setebal 221 halaman ini saya lahap karena penasaran dengan akhir kisahnya.
Melalui novel ini, Iwan menceritakan perjalanan hidupnya sebagai anak sopir angkot di Kota Batu, Malang, Jawa Timur, hingga sukses bekerja di AC Nielsen, perusahaan multinasional di New York, Amerika Serikat. Di perusahaan itu dia mencapai posisi puncak, sebagai Director Internal Client Management Nielsen Consumer Research.
Cerita dibuka dengan deskripsi Westhcester Avenue, sebuah kawasan di New York. Seantero kota dilukiskan tengah sibuk mempersiapkan pesta kembang api untuk merayakan hari kemerdekaan. Iwan bergegas menuju kereta Metro North di Stasiun Fleetwood ke Manhattan untuk melihat pesta kembang api. Tiba-tiba dia disergap oleh dua pemuda. Iwan dirampok dan dipukuli.
Saat sempoyongan setelah dihajar dua berandal itu, dia melihat sosok anak laki-laki dengan seragam merah putih. Kepada bocah itulah Iwan mulai berkisah tentang dirinya. Iwan mengalami masa kecil yang sulit, dia hidup di gang. Di rumah mungil 6 x 7 meter persegi dan hampir tak berhalaman itu, dia hidup bersama bapak, ibu, dan empat saudara perempuannya.
Mereka bertujuh berbagi dua kamar tidur, satu ruang tamu kecil, satu dapur, dan satu kamar mandi. Sebagai anak laki satu-satunya, dia selalu berpindah-pindah tempat tidur. Sampai ketika remaja berlabuh tidur di depan televisi di atas karpet cokelat. Musuh terbesarnya: tikus dari dapur dan hawa dingin Kota Batu pada malam hari. Tak banyak kenangan indah dari masa kecilnya. Tidak ada mobil-mobilan dan buku cerita. Alat hiburan cuma televisi hitam-putih dan buku pelajaran.
Sedikit membuka dirinya, Iwan lalu kembali menceritakan New York. Studio apartemennya di kawasan Soho, Manhattan, kawasan elite di New York. Plot maju-mundur yang dibangun Iwan cukup apik dan tak membosankan. Kita diajak membayangkan kehidupan sederhana Iwan ketika kecil di Batu, lalu lompat lagi ke kehidupan dia di New York. Kita diajak melihat Times Square, Central Park, dan Patung Liberty.
Iwan juga menunjukkan perkenalannya dengan Fyodor Dostoyevsky, penulis Rusia yang ia kagumi. Beberapa karya Dostoyevsky disitir dalam novel ini, selain puisi "Doa" karya Chairil Anwar.
Iwan lalu membawa kita ke kelas yoga di New York, akhir pekan di West Village atau Soho, menonton indie movie di Angelica, dan makan sushi di Blue Ribbon. Sebuah kehidupan yang 180 derajat berbeda dengan masa kecil Iwan, sebuah masa ketika ibunya harus membagi satu telur dadar untuk tiga orang, suatu waktu ketika dia harus mengecat boneka kayu dan membantu tetangganya berjualan sayur.
Novel ini juga menceritakan perjuangan orang tua, kakaknya, dan Iwan hingga bisa kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB) Jurusan Statistika. Bahkan dia menjadi lulusan terbaik, juga bagaimana dia mendapat pekerjaan di perusahaan multinasional yang berkantor di Sudirman, Jakarta, sampai akhirnya mendapat tawaran di New York dan bermukim di sana selama 10 tahun.
Kisah sukses Iwan mungkin cerita klise di Indonesia. Kita tahu, banyak di antara kita yang mengalami masa sulit ketika kecil dan meraih sukses saat ini. Namun, jarang yang berani jujur dan menceritakannya dengan detail seperti Iwan.
Buku ini adalah buku kedua pria kelahiran Batu, 2 Desember 1974, itu. Buku pertamanya adalah Melankoli Kota Batu, kumpulan fotografi dan narasi puitis tentang Kota Batu. Iwan saat ini tinggal di kota kelahirannya itu.
Menurut budayawan Mohamad Sobary, novel ini adalah novel rekonsiliasi masa lalu dan masa depan. "Jika masa kini tantangan dan masa depan adalah kegelapan misteri, maka apa kekayaan terindah kita bila bukan masa lalu, biarpun kegetiran masih tergores di sana?" kata Sobary dalam testimoni atas buku ini.
Sedangkan E.S Ito, penulis novel Negara Kelima dan Rahasia Mede, menuliskan testimoni, "Novel ini tidak bercerita tentang mimpi, tapi tentang keberanian untuk menembus batas ketakutan. Kisah luar biasa yang diceritakan dengan lugas dan sederhana."
Bagi saya, ini adalah satu dari beberapa novel inspiratif dan saya baca tuntas, seperti Kite Runner karya Khaled Hosseini dan Tuesdays with Morrie karya Mitch Albom.
POERNOMO GONTHA RIDHO