TEMPO Interaktif, :- Hidup tampak indah jika sekolah beres, pekerjaan lancar, dan tak punya utang. Namun kehidupan bukan itu saja. Ada jiwa yang perlu dibasahi. Itulah yang dirasakan Vera Lutfia, 38 tahun, perempuan pelatih penyedia jasa (provider) teknologi informasi dan komunikasi. Dia merasa ada yang kosong. "Saking ngalir-nya, saya enggak tahu mau apa. Hidup saya terlalu datar," ujarnya saat ditemui di seminar "Emotional Healing Therapy" di Hotel Sofyan Betawi, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Untuk mengisi jiwa yang kosong, Vera mengikuti aneka terapi dan penyembuhan mencari tujuan hidup. "Saya dibilang kaya zombie karena tidak punya gairah," ujar perempuan berkerudung ini. Diakui, dalam usia menjelang kepala empat, Vera merasa selalu gagal membangun hubungan personal, padahal secara materi sudah terpenuhi.
Selama ini ia tak menyadari kegagalan membangun hubungan ternyata berdasarkan trauma masa lalu dalam keluarga. Padahal Vera merasa hubungannya dengan orang tua baik-baik saja.
Pintu jiwa Vera terbuka setelah ia berkenalan dengan Irma Rahayu. "Dia yang membuka itu semua," katanya menunjuk perempuan di sebelahnya. Irma, 37 tahun, tak punya pendidikan dasar psikologi atau terapi. Empat kali mencoba bunuh diri, terlilit utang ratusan juta rupiah, hingga kehilangan pasangan membuatnya belajar banyak. "Buat saya, pengalaman hidup jauh lebih berharga," katanya.
Pengalaman jugalah yang membuatnya menjadi penyembuh jiwa (soul healer) sekaligus mendirikan Emotional Healing Indonesia pada Oktober 2008. Awalnya tak ada niat menjadi penyembuh karena perempuan berjilbab ini juga butuh penyembuhan jiwa. Ke sana-kemari mengikuti pelatihan hingga habis puluhan juta rupiah tak juga mengurangi masalahnya.
Hingga akhirnya, bersama Erwin Hananto Kusumo, yang mempunyai pendidikan dasar psikologi, Irma menemukan kunci semua masalah. "Emosi adalah pemicu energi. Energi manusia keluar dari aneka emosi, mulai jatuh cinta, marah, benci, hingga kecewa," ujarnya.
Dari emosi pula akan terlihat kondisi kesehatan seseorang. Misalnya orang dalam kondisi tertekan akan banyak diam, tangannya sesekali gemetaran, dan jantung berdetak lebih cepat. Sedangkan orang yang melampiaskan emosi biasanya cepat naik suhu tubuhnya, mudah berkeringat, dan jantungnya berdetak cepat.
Ujung dari kegagalan mengolah emosi adalah penyakit, antara lain kanker. Penyakit itu muncul karena kondisi klimaks, yakni emosi sudah lama salah urus, ditambah faktor lingkungan. Ciri-ciri dasar kesalahan olah emosi antara lain susah tidur, depresi, dan obesitas. "Itu efek yang paling terasa," ujar Irma.
Irma mengaku tidak tahu mendapat kemampuan dari mana hingga menjadi penyembuh jiwa. Tapi, sejak kecil, ia punya kemampuan melihat masalah dalam diri seseorang. Kemampuan itulah yang membuatnya dulu pernah dijuluki anak setan. Namun, dengan kemampuan itu pula, ia mampu memiliki segalanya hingga menjadi tak punya apa-apa.
Kini, setelah kenyang dengan pengalaman hidup dan aneka terapi, Irma menawarkan pengelolaan emosi bagi setiap kliennya. "Setiap orang punya vibrasi yang selaras dengan energi," katanya. Vibrasi dari emosi seseorang bisa terlihat dari suara, tulisan, hingga penampilan fisik. Semakin bagus pengelolaan emosi, semakin sensitif seseorang mengenali energi orang lain.
Vera, yang merasa kering, jadi ketagihan ikut terapi emosi itu. Sudah enam kali tapi masih ingin ikut lagi. "Bukan karena masalahnya belum beres, tapi lantaran saya ingin menjadi lebih baik," katanya.
l DIANING SARI
Berita terkait
Definisi Kesehatan Mental Menurut Psikolog, Perlu Dimiliki Setiap Orang
19 hari lalu
Kesehatan mental lebih dari sekadar gangguan atau kecacatan mental yang diderita seseorang. Psikolog beri penjelasan.
Baca SelengkapnyaCOP10 WHO FCTC Raih Sejumlah Kesepakatan, dari Perlindungan hingga Deklarasi Panama
5 Maret 2024
Sesi kesepuluh Konferensi Para Pihak (COP10) Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau WHO FCTC menghasilkan sejumlah kesepakatan jangka panjang.
Baca SelengkapnyaHeru Budi Tutup Puskesmas Kelurahan Jati II: Dialihfungsikan Jadi Upaya Kesehatan Masyarakat
30 September 2023
Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi memutuskan menutup Puskesmas Kelurahan Jati II di Pulogadung. Apa Alasannya?
Baca SelengkapnyaPolusi Udara, Mayoritas Warga Jakarta Ternyata Masih Abai Proteksi Diri
26 Agustus 2023
Indikasi polusi udara dan himbauan itu ternyata belum membuat warga Jakarta mengubah kebiasaan untuk mengutamakan proteksi diri.
Baca SelengkapnyaDampak El Nino pada Kesehatan Masyarakat Harus Diantisipasi
7 Agustus 2023
Kewaspadaan terhadap potensi munculnya penyakit yang dipicu dampak El Nino harus diantisipasi dengan tepat dan segera.
Baca SelengkapnyaEnergi Bersih Cegah 180 Ribu Kematian di Indonesia, Begini Penjelasannya
25 Juli 2023
Apa yang dimaksud energi bersih, benarkah bisa menyelamatkan ratusan ribu nyawa manusia?
Baca SelengkapnyaFakultas Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Keperawatan UI Raih Akreditasi Internasional AHPGS
11 April 2023
tiga program studi FKM dan satu program FIK Universitas Indonesia (UI) meraih akreditasi internasional dari AHPGS.
Baca SelengkapnyaCISDI Soal RKUHP yang Baru Disahkan: Relawan Kesehatan Seksual Rentan Alami Kriminalisasi
7 Desember 2022
CISDI menyebut RKUHP yang baru disahkan kemarin luput mempertimbangkan perspektif kesehatan masyarakat dalam proses pembahasannya.
Baca SelengkapnyaDr. Pandu Riono: Rumah Sehat Mengubah Cara Berpikir Masyarakat
9 Agustus 2022
Penjenamaan rumah sehat akan memfungsikan ilmu kedokteran tentang pencegahan penyakit. Layanan digital terintegrasi SATU SEHAT menjadi langkah mengoptimalkan pelayanan kesehatan.
Baca SelengkapnyaRancangan Peraturan Pelabelan BPA untuk Lindungi Masyarakat
28 Juli 2022
Rancangan peraturan pelabelan BPA sama sekali tidak melarang penggunaan kemasan galon polikarbonat
Baca Selengkapnya