TEMPO.CO, Yogyakarta - Lembaran batik tulis bermacam motif dalam naskah kuno Puro Pakualaman ditunjukkan kepada peserta simposium. Motifnya kaya filosofi sesuai gambar dan teks naskah Jawa kuno itu. Misalnya batik motif parang ceplok Wilayan Kusumajana, yang berupa bunga Wijayakusuma. Motif ini berasal dari naskah Sestradisuhul dan Babar Palupyan. “Naskah ini bicara tentang orang yang tahan hinaan dan tidak tinggi hati karena pujian akan tumbuh menjadi manusia unggul seperti bunga Wijayakusuma,” kata Gusti Kangjeng Bendara Raden Ayu Paku Alam X.
Ada pula motif batik Sestra Lukita. Motifnya mengambil ajaran dari Serat Rama, Arjunawijaya, Kempalan Dongeng, Babar Palupyan. Filosofinya menggambarkan 21 sikap baik dan buruk. Ajaran Sestradi berasal dari Paku Alam I yang berisi 21 sifat baik dan 21 sifat buruk manusia. Sifat baik diantaranya sabar, narimo (menerima), kuat, nalar, bener (benar). Sedangkan sifat buruk di antaranya dengki, leson (malas), dengki.
Batik beraneka motif itu ditunjukkan GKBRAy Paku Alam X melalui sejumlah model dalam simposium rangkaian Jogja International Batik Biennale di Hotel Royal Ambarrukmo, 13 Oktober 2016. Acara itu berlangsung pada 12-16 Oktober. GKBRAy bicara tentang manuskrip sebagai sumber penciptaan batik di Puro Pakualam.
Simposium itu juga menghadirkan pembicara yakni desainer pewarna alam dari Malaysia, Edric Ong. Dia membahas gaya hidup yang peduli lingkungan. Ada pula Tatyana Agababaeva, seniman batik dari Azerbaijan dan pecinta batik asal Jerman, Annegret Haake yang jatuh cinta pada batik Indonesia.
GKBRAy Paku Alam X mengatakan naskah kuno peninggalan Paku Alam 1 hingga Paku Alam 5 punya banyak makna filosofi. Naskah kuno berbahasa Jawa tahun 1830-an itu disimpan di Puro Pakualaman. GKBRAy Paku Alam X mengatakan ia bersama tim dari perpustakaan Puro Pakualaman mengambil inspirasi dari naskah kuno yang kemudian dituangkan dalam batik. “Kami pelajari naskah, apa artinya, dan filosofinya,” kata dia.
GKBRAy mulai membatik pada tahun 2010. Puluhan batik yang diciptakan di Puro Pakualaman, kata dia kebanyakan merupakan batik tradisional Jawa klasik. Batik itu berlatar parang, batik jenis ini biasanya dikenakan para bangsawan. Ada pula batik berlatar beras wutah. Selain kain batik, dia juga menciptakan taplak meja dan tarian batik.
Pecinta batik asal Jerman, Annegret Haake, mengatakan selama melakukan perjalanan ke Indonesia, ia mengkoleksi batik klasik dan batik baru atau kontemporer. Dia lalu memamerkannya di banyak tempat, kebanyakan di Jerman. Pameran yang pertama di Frankfurter Sparkasse pada 1976. “Saya bersama Dati dan Hani Winotosastro mengorganisasi pameran yang didukung Kedutaan Besar Indonesia di Jerman,” kata Annegret.
Annegret datang ke Indonesia pertama kali pada 1970 dan mengunjungi banyak tempat. Di antaranya Yogyakarta. Dalam perjalanannya, ia membeli batik Jawa dari Batik Winotosastro di Yogyakarta.