TEMPO.CO, Jakarta - Ridwan Kamil, bakal calon Gubernur Jakarta, mengusulkan aplikasi curhat dan mobil curhat bagi warga Jakarta. Menurutnya, ini penting karena Jakarta merupakan salah satu kota dengan tingkat stres tertinggi di dunia. "Jakarta adalah kota dengan tingkat stres tertinggi nomor 9. Kita akan fokus pada masalah stresnya. Bila membutuhkan, warga dapat memanfaatkan aplikasi atau mobil curhat," ujar RK, sapaan akrabnya, saat debat kedua Pilkada Jakarta pada Minggu, 27 Oktober 2024.
Ridwan Kamil juga menekankan bahwa ia akan melaksanakan program makan bergizi gratis sesuai arahan Presiden Prabowo, yang akan ditargetkan pada kelompok masyarakat yang paling membutuhkan di Jakarta. Selain itu, untuk warga disabilitas, ia berencana menyediakan layanan dokter keliling.
Ia menambahkan bahwa pihaknya berkomitmen untuk memastikan cakupan BPJS mencapai 100 persen, mengingat saat ini masih ada sekitar 10 persen warga Jakarta yang belum memiliki akses kesehatan. Lantas, bagaimana penyebab stres di Jakarta?
Penyebab Stres di Jakarta
Dilansir dari jurnal berjudul Faktor-faktor penyebab kemacetan di DKI Jakarta karya Rohana dan Euis dari Trisakti, Jakarta, sebagai pusat ekonomi dan pemerintahan Indonesia, dikenal sebagai salah satu kota dengan tingkat stres yang tinggi. Berbagai faktor menjadi penyebab utama meningkatnya stres di ibu kota, mulai dari kemacetan lalu lintas yang parah, tingkat polusi yang tinggi, hingga biaya hidup yang terus meningkat. Bagi banyak warga Jakarta, stres sehari-hari bukanlah hal asing, dan fenomena ini memiliki dampak besar terhadap kualitas hidup mereka. Berikut ini adalah beberapa penyebab utama stres yang dirasakan masyarakat Jakarta.
Kemacetan Lalu Lintas yang Parah
Dalam jurnal itu juga disebut, salah satu penyebab terbesar stres di Jakarta adalah kemacetan lalu lintas yang kronis. Menurut data terbaru, rata-rata perjalanan komuter di Jakarta bisa memakan waktu dua hingga tiga jam sehari. Kondisi ini diperburuk oleh infrastruktur yang kurang memadai serta meningkatnya jumlah kendaraan bermotor yang beroperasi di jalanan ibu kota. Waktu yang dihabiskan dalam kemacetan tidak hanya menguras energi, tetapi juga berdampak negatif terhadap produktivitas dan kesehatan mental masyarakat. Banyak pekerja yang merasa lelah bahkan sebelum memulai aktivitas mereka di kantor.
Kemacetan lalu lintas yang tak kunjung terurai ini juga berdampak langsung pada waktu istirahat dan keseimbangan hidup masyarakat Jakarta. Banyak orang terpaksa bangun lebih pagi dan pulang lebih larut demi menghindari puncak kemacetan. Akibatnya, waktu untuk beristirahat dan bersantai menjadi sangat terbatas. Situasi ini, jika berlangsung terus-menerus, dapat memicu burnout atau kelelahan emosional yang berujung pada stres berkepanjangan.
Biaya Hidup yang Tinggi
Dilansir dari Antara, faktor lain yang memicu stres adalah tingginya biaya hidup di Jakarta. Sebagai ibu kota, biaya hidup di Jakarta jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kota-kota lain di Indonesia. Harga kebutuhan pokok, sewa hunian, serta layanan kesehatan dan pendidikan di Jakarta cukup tinggi. Hal ini menambah beban bagi para pekerja yang harus mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar.
Bagi mereka yang belum memiliki hunian tetap, tekanan finansial semakin terasa karena harga sewa atau beli rumah di Jakarta sangat mahal. Banyak pekerja dari kalangan menengah ke bawah memilih tinggal di daerah pinggiran yang lebih terjangkau, meski hal itu berarti harus menempuh perjalanan panjang setiap hari. Biaya hidup yang tinggi ini sering kali membuat masyarakat merasa terjebak dalam siklus yang sulit diatasi, sehingga mereka cenderung merasa cemas dan tertekan.
ANGELINA TIARA PUSPITALOVA | ALIF ILHAM FAJRIADI | UI.AC.ID | TRISAKTI.AC.ID | ANTARA
Pilihan Editor: Ridwan Kamil Bakal Temui Prabowo di Istana Negara, Bahas Pilkada Jakarta?