Anak-anak usia awal sekolah, kata Yusi, masih cenderung susah diatur. “Bayangkan kalau anak SD sudah dipaksa duduk, maka aspek perkembangannya akan terhambat.” Tak hanya itu, anak yang dipaksa duduk terlalu lama bisa membuat tulang duduk dan tulang ekornya tidak kuat. Selain duduk, anak dipaksa mengunci mulut. Menurut Yusi, tindakan-tindakan seperti ini hanya akan mengekang kreativitas anak. “Anak di sekolah tidak perlu selalu duduk, tapi berikan kebebasan.”
Guru besar psikologi dari Universitas Indonesia, Dhini, mengatakan 50 persen kemampuan anak diterima pada usia 0-8 tahun. Karena itu, anak harus dibuat senang dengan metode belajar bermain. Dengan begitu, diharapkan anak akan mengulang-ulangnya. Menurut dia, anak baru bisa berpikir dewasa setelah usia 7 tahun. Jadi, pelajaran awal sebaiknya membentuk akhlak dan karakter anak.
Untuk menguatkan akhlak dan karakter anak, Pemerintah Kabupaten Gowa mengganti mata pelajaran baca, tulis, hitung (calistung) dengan mata pelajaran iman dan takwa. “Kami ingin memberi kenyamanan belajar pada anak usia awal sekolah dasar dengan metode bermain,” ujar Bupati Gowa Ichsan Yasin Limpo, Senin lalu.
Mata pelajaran calistung baru diwajibkan pada anak di kelas III SD. Sedangkan di kelas I dan II, anak-anak ditekankan pada pendidikan iman dan takwa. Uji coba awal akan dilakukan di delapan sekolah dasar di Gowa. Hingga pertengahan 2016, program ini ditargetkan sudah bisa diberlakukan di 50 SD.
Mata pelajaran iman dan takwa ini akan dikemas dalam bentuk permainan-permainan yang bernilai pendidikan. Kajian kebijakan ini melibatkan sejumlah pakar, di antaranya Dhini, Yusi, dan Abdul Hamid dari UPI Bandung; guru besar dari Universitas Negeri Makassar, Jufri Idrus; serta Bambang Supeno dari Kementerian Pendidikan.
Hamid mengatakan, melalui mata pelajaran iman dan takwa, belajar akan dilakukan untuk mengembangkan totalitas kepribadian anak. “Kurikulum akan kami kemas dengan cara berbeda, yakni lebih banyak bermain.” Menurut Hamid, penggantian ini tidak berarti menghilangkan kemampuan membaca dan menulis anak. Tapi, dengan bermain, misalnya, berhitung tidak lagi memerlukan satu jawaban yang tepat. Dan secara tidak langsung akan memberi ruang berpendapat dan berekspresi bagi anak.
IRMAWATI