TEMPO Interaktif, Jakarta: Di tengah kekalutan karena hubungan pranikah bersama kekasihnya, Joko, 25 tahun, membuatnya berbadan dua, Mira (keduanya bukan nama sebenarnya), 23 tahun, akhirnya menemukan titik terang. Bukan pernikahan yang menjadi jalan keluarnya, melainkan pengguguran kandungan yang mereka pilih dengan perantara joki "klinik kandungan" di bilangan Cikini, Jakarta.
Tampak jelas hasil buah cinta Mira dengan Joko membuat ceceran darah di mana-mana. Wajah perempuan ini pucat pasi. Namun, ia lega karena beban di pundaknya hilang seiring dengan musnahnya janin dalam rahimnya. "Walau sangat sakit, tapi perasaan plong," ujarnya. Sejenak memang hatinya lega, namun sebenarnya risiko komplikasi pascaaborsi bakal menghantuinya seumur hidup. Tapi langkah ini yang kebanyakan dipilih para remaja maupun perempuan muda bila dibalut masalah serupa.
Dalam diskusi seminar bertajuk "Virginity, Safe Sex, and Abortion" di kampus London School of Public Relations, Jakarta, belum lama ini, terungkap memang solusi awal yang muncul di benak perempuan mendapati dirinya hamil sebelum nikah adalah aborsi. "Mereka melakukannya karena takut dan malu," kata Yerri Patinasarani, putra mantan legenda sepak bola nasional Ronnie Patinasarani (almarhum).
Selain itu, kata mantan junkie itu, fenomena seks bebas di kalangan remaja menjadi faktor pendorong aborsi. "Narkoba, alkohol, seks bebas adalah satu rantai," ujarnya. Atas dasar pengalamannya, Yerri mengatakan lingkungan mereka itu begitu mentoleransi aborsi sebagai pilihan keluar dari persoalan.
Psikolog Tika Bisono, di tempat terpisah, mengatakan aborsi dilakukan remaja yang hamil sebelum nikah karena mereka ingin lepas dari beban sosial, moral, juga ekonomi. "Mereka sangat terbebani nama baik keluarga," ujarnya saat dihubungi Tempo via telepon seluler. Posisi mereka pun terdesak untuk memilih jalan haram itu.
Namun, menuding seks bebas sebagai muasal aborsi, kata Tika, juga tidak tepat. Justru penganut ideologi bebas ini banyak yang secara sadar memakai kondom karena takut hamil maupun penyakit menular seksual. Ia menyebutkan, justru yang kerap kecolongan adalah pemula dan yang sekadar coba-coba, sehingga terjadilah kehamilan yang tidak diinginkan. Saat si perempuan panik, ujar dosen subyek perilaku seksual di Universitas Mercubuana itu, menggugurkan dianggap cara efektif. Apalagi dalam keluarga jarang dibangun pembicaraan seksual antara orang tua dan anak.
Dari observasinya terhadap mahasiswa Mercubuana semester VI hingga VII, diperoleh hampir semua mahasiswa tidak pernah membicarakan seks dengan ibu atau ayahnya. "Komunikasi mengenai seks buntu, akhirnya timbul rasa malu," ujar Tika. Nah, rasa malu itu berbuah menjadi pengambilan keputusan, seperti aborsi. Selain moral dan stigma sosial, remaja tanggung ketakutan tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin kepada sang buah hati.
"Menanggulangi kasus aborsi dengan sistem alert kondom bukan langkah efektif," ucapnya. Terlepas kontroversi kondom, Putri Remaja Indonesia pada 1978 ini memilih berdialog serta menanamkan pesan moral kepada remaja. "Saya menentang remaja di bawah 17 tahun memakai kondom," katanya tegas. Kemudian, ia menyarankan untuk membekali edukasi seksual kepada siswa menengah pertama.
Merujuk hasil penelitian Badan Kesehatan Dunia (WHO) sampai paruh 2008, sekitar 2,5 juta perempuan Indonesia melakukan aborsi. Dan 60 persen di antaranya dilakukan dengan cara tidak aman. Di Tanah Air, praktek aborsi bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 mengenai kesehatan dan fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 4 Tahun 2005.
HERU TRIYONO
Risiko Kesehatan Akibat Aborsi
- Perdarahan
- Infeksi serius di sekitar kandungan
- Rahim sobek
- Kerusakan pada leher rahim.
- Kanker payudara
- Kanker indung telur
- Kanker leher rahim
- Kanker hati
- Komplikasi kehamilan berupa placenta previa--ketika posisi plasenta lebih bawah dari rahim
- Kehamilan di luar kandungan
- Infeksi radang panggul
- Endometriosis