Tim Nielsen menggunakan metode penelitian <I>online<I> terhadap responden di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Catherine Eddy, direktur eksekutif penelitian konsumen, menyebutkan sekitar 44 persen masyarakat dunia, termasuk Indonesia, makan di luar rumah satu hingga tiga kali dalam seminggu dan sekitar 38 persen melakukannya sebulan sekali bahkan kurang.
Wanita asal Australia ini menjelaskan, dalam kondisi krisis seperti sekarang, memang ada sedikit berpengaruh, khususnya di Eropa dan Amerika yang melakukan pengencangan ikat pinggang. "Namun, tetap saja kegiatan ini berlangsung. Sedangkan di Indonesia dan Asia, malahan kian marak."
Catherine menyebutkan frekuensi makan di luar rumah sangatlah mencerminkan budaya lokal masyarakat setempat di setiap negara. Misal, menurut Eddy dari The Nielsen Company Indonesia, di Eropa kebiasaan ini terkait dengan tradisi berbagi cerita di antara keluarga yang dilakukan saat berkumpul di meja makan. Di Asia, termasuk Indonesia, kebiasaan ini lebih ditekankan sebagai momen sosialisasi di luar rumah. "Jadi, kalau mau ditarik benang merahnya, kegiatan ini memang bukan sekadar makan di luar. Ada faktor perekat lain," katanya.
Dalam hal memilih tempat, responden dunia ternyata mempertimbangkan banyak hal sebelum memilih sebuah arena bersantap. Dari riset ditemukan 33 persen menimbang jenis makanan. Lebih dari 27 persen lebih suka masakan lokal dibanding menu internasional. Sedangkan soal harga menjadi pertimbangan bagi 24 persen. "Di Indonesia, 44 persen mempertimbangkan jenis makanan. Setelah itu, pertimbangan harga sebesar 25 persen."
Di Indonesia, masakan lokal menjadi favorit (59 persen), diikuti makanan Cina (23 persen) dan Jepang (19 persen). Namun, pengunjung restoran global yang paling patriotik adalah orang Italia dengan 92 persen yang benar-benar fanatik pada hidangan lokal. Disusul konsumen Turki (82 persen) dan India (81 persen).
Acara berkumpul di meja makan paling sering dilakukan di malam hari (60 persen). Berkumpul pun tak hanya dengan keluarga, tapi juga teman-teman. Ada juga yang lebih sering dengan pasangannya. Pengamat gaya hidup Muara Bagja menyebutkan, makan di luar rumah ini memang bagian dari gaya hidup. Penyebab ada dua, yakni karena dibentuk dan kebutuhan.
Faktor pertama sudah menjadi tren global sejak 90-an, seiring dengan tumbuhnya pusat belanja dan arena makan. "Karena dikemas, lalu tumbuh sedemikian rupa, akhirnya menjadi kebutuhan yang terus menjamur, berkembang pesat," ujarnya.
Kemudian, kondisi ini juga berkembang ketika informasi seputar dunia makanan tidak lagi menjadi kebutuhan soal mengenyangkan perut, tapi berubah menjadi wisata boga. "Apalagi pilihannya terbuka mau makan yang murah sampai mahal dengan segala kemasan, ala rekreasi dan bumbu beragam menjadi tren yang diikuti tak hanya kalangan pekerja kantoran, keluarga, bahkan remaja dan anak-anak."
Untuk Indonesia, Muara melihat kegiatan ini sering kali untuk momen khusus seperti ulang tahun, merayakan sesuatu dan saat akhir pekan. Bagi pekerja kantor bahkan sudah melekat menjadi gaya hidup. "Selalu ada sensasi menarik, mencoba sesuatu yang berbeda". Apalagi ada alasan lain, seperti membina relasi bisnis, menunggu kemacetan, selain berkumpul dengan orang-orang tercinta atau keluarga. "Pokoknya banyak alasan," ujarnya. | HADRIANI P