TEMPO Interaktif, Jakarta - Kaum perempuan yang menggunakan jasa gigolo pada umumnya adalah mereka yang kesepian dan mempunyai uang lebih, tapi kehidupan pribadinya tidak bahagia. "Tidak hanya kepuasan seksual," kata psikolog Mira Rumeser hari ini.
"Sebagai perempuan yang tidak bahagia, bisa saja dia lari ke arah lain. Karena perempuan membeli, gigolo itu pun akan bersikap manis. Makanya gigolo cenderung jadi peliharaan," ujarnya.
Secara rasional, kata Mira, keberadaan gigolo disebabkan karena kebutuhan itu ada. "Ada demand, ada supply," tambahnya.
Meski demikian, kata Mira, pengguna jasa seks gigolo memiliki banyak kemungkinan motivasi untuk melakukan hasratnya. Sebagai contoh, warga asing yang menggunakan jasa gigolo di Bali adalah mereka yang sedang mencari kesenangan. Perempuan itu juga secara kultural lebih bebas dibanding warga Indonesia.
Selain itu, kata Mira, bagi perempuan bule, orang-orang Asia dianggap eksotis. Hal itu tidak hanya di Indonesia, tetapi juga terjadi di Thailand dan kawasan Asia lainnya.
Motivasi kesenangan itu bertemu dengan motivasi ekonomi para pemuda di Kuta, Bali. Padahal perempuan bulenya pun bukan perempuan muda, cukup berumur dan bahkan bukan perempuan berwajah cantik.
Mira menilai tren gigolo di Bali adalah gejala sosial. Dia sendiri menilai tren itu tidak akan meluas secara terbuka, karena masyarakat Indonesia tidak akan membiarkan hal itu. "Lihat saja kasus di Bali, masyarakat tidak tinggal diam," ujarnya.
Terkait kasus di Bali, Mira menekankan pentingnya untuk melakukan edukasi kepada para pemuda itu. "Karena untuk turis itu di luar kontrol kita," ujarnya.
Menurutnya, yang bisa diedukasi tidak terbatas masalah moral, tetapi juga soal kesehatan. "Bagaimana jika mereka membawa penyakit, seperti AIDS."
Selain itu, kata Mira, perlu juga dilakukan studi banding dengan kawasan-kawasan pariwisata lainnya yang terkenal, seperti di Thailand. "Bagaimana mereka mengatasi hal itu," ujarnya.
Senada dengan Mira, pakar seks dr Boyke Dian Nugroho SpOG, MARS, mengatakan fenomena pengguna jasa gigolo lebih didasari motif ekonomi dan kesenangan. Hal ini tidak hanya terjadi di tempat-tempat wisata, tetapi juga terjadi di kota-kota besar.
Dia juga menampik fenomena ini terkait penyimpangan seksual. "Dalam era globalisasi ini, pria-pria di Bali itu mungkin saja meniru di Thailand. Pekerjaan apa sih yang tidak perlu banyak kerja dan dibayar. Sementara orang-orang Barat memang menginginkan anak lokal. Juga pernah terdengar bahwa Bali itu surga untuk wanita dari Jepang," ujarnya.
Menurut dr Boyke, para gigolo itu berisiko besar terinfeksi HIV/AIDS. Namun, dari pengalamannya menangani pasien, para gigolo itu termasuk mereka yang sadar dan mengetahui risiko tertular penyakit mematikan itu.
"Para gigolo itu pintar-pintar dan mengetahui risikonya. Mereka menggunakan kondom. Sementara pemakai jasa gigolo juga mereka bukan orang-orang miskin dan mengetahui risikonya juga," ujarnya.
Menurut dr Boyke, para gigolo itu tidak hanya lulusan SMA. Mereka ada yang kuliah dan berkamuflase menjadi peselancar atau profesi lainnya.
ERWIN Z