Pantang Menyerah Hadapi TBC Superbandel (1)
Editor
Dwi Wiyana Majalah
Sabtu, 10 Agustus 2013 10:43 WIB
TEMPO.CO, Jakarta- Sepi membekap Rumah Sakit Persahabatan di Rawamangun, Jakarta Timur, Jumat, 9 Agustus 2013. Tak ada pasien dan pembezoek lalu lalang. Tempat parkir di halaman depan yang biasanya sesak hanya berisi tiga mobil: sebuah Daihatsu Xenia putih, Toyota Kijang merah marun, dan Suzuki Carry biru. Pintu masuk utama rumah sakit terkunci. Selembar kertas HVS putih bertuliskan pemberitahuan ditempel di kaca. Isinya tentang libur Idul Fitri 1 Syawal 1434 H: poliklinik rawat jalan libur 5-9 Agustus dan buka kembali pada Senin, 12 Agustus 2013. Semua pelayanan dialihkan ke Instalasi Gawat Darurat.
Salah satu poliklinik yang tutup adalah Klinik TB MDR (Multi Drug Resistant Tuberculosis) yang berada di pojok gedung Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan. Sehari-hari, di klinik inilah pasien tuberkulosis yang resisten alias kebal terhadap obat antituberkulosis dengan status Basil Tahan Asam (BTA) positif –sehingga sangat bisa menularkan ke orang lain-- ditangani.
Lantaran libur, semua pasien tuberkulosis tipe ini layanannya dipindahkan ke Ruang Perawatan Soka Bawah, lokasinya sekitar 200 meter dari klinik TB MDR ke arah dalam komplek rumah sakit. Pada hari biasa, Soka Bawah menangani pasien tuberkulosis yang sudah mengalami konversi sehingga berstatus BTA negatif –sangat kurang menularkan kepada orang lain.
Walhasil, karena layanan pasiennya digabung, kegiatan di Soka Bawah selama libur terus menggeliat sejak pagi hingga sore. Suster dan perawat jaga siap membagikan kombinasi sejumlah obat antituberkulosis yang dikemas dalam plastik kecil bertuliskan nama pasien yang harus diminum di tempat.
“Tak ada kata libur, minum obat jalan terus. Tak boleh seharipun bolong,” kata Emmy Asriani, bukan nama sebenarnya, saat ditemui Tempo, Jum’at, 9 Agustus siang, di ruang tamu Soka Bawah sebelum mengambil dan menelan habis obatnya. Perempuan 46 tahun ini adalah penderita TB XDR (Extensively/Extremely Drug Resistant Tuberculosis) dengan status BTA negatif. “Saya ingin cepat sembuh. Kalau minum obatnya sampai bolong, makin lama sembuhnya,” kata dia, “Makanya, libur Lebaran tetap datang ke sini.”
TB XDR adalah kondisi pasien yang kuman Mycobacterium tuberculosis sebagai biangnya penyakit sudah resisten terhadap dua obat antituberkulosis terkuat lini pertama, yakni rifampisin dan izoniasid –yang biasa disebut sebagai TB MDR, ditambah kebal terhadap obat lini kedua, golongan flurokuinolon. “Plus, resisten terhadap minimal satu obat antituberkulosis suntikan, yakni kanamisin, amikasin atau kapreomisin,” kata Dyah Erti Mustikawati, Kepala Sub-Direktorat Tuberkulosis, Kementerian Kesehatan. Bisa dibilang, TB XDR kumannya superbandel, TB MDR bandel, dan TB biasa masih sensitif terhadap obat antituberkulosis.
Emmy berobat di RS Persahabatan sejak akhir April 2012. Sebelumnya, ibu empat anak ini sempat didiagnosis mengidap tuberkulosis sensitif saat usianya sekitar 25 tahun. Gejala awalnya berupa batuk berdahak lebih dari tiga minggu, nyeri dada, nafsu makan kurang dan berat badan melorot. Emmy juga pernah merawat suaminya yang terkena TBC. Penyakit Emmy berkembang menjadi TB MDR dan TB XDR karena suka bolong-bolong minum obat. Kebiasaan buruknya itu kini dibuang jauh-jauh saat menjalani pengobatan TB XDR.
Tiap hari, obat yang diminum Emmy ada 18 pil dan kapsul, yakni levofloxacin (4 butir), cycloserine (3), pyrazinamide (3), ethionamide (3), pyridoxine/vitamin B6 (3). Selain itu, ditambah dua bungkus aminosalicylic acid yang bentuknya butiran seperti pasir. Pada enam bulan pertama, ia harus rela bokongnya disuntik obat antituberkulosis tiap hari dari Senin-Jumat. Suntikan dihentikan setelah BTA-nya negatif.
Terus terang, rasa bosan dengan pengobatan yang begitu lama –bisa dua tahun-- kerap mampir di benak Emmy. Tapi, semangat untuk sembuh mengalahkan semuanya. Warga Kalibata, Jakarta Selatan ini mengaku iri tiap kali ada pasien yang diyatakan sembuh dan ingin bisa cepat-cepat lepas dari cengkeraman tuberkulosis yang menyiksanya.
“Sudah ada enam pasien TB XDR kita yang sembuh. Kuncinya, berobat secara benar dan teratur,” kata Dr Erlina Burhan, Ketua Kelompok Kerja Directly Observed Treatment, Short-course (DOTS) dan TB-MDR RS Persahabatan, saat ditemui pada kesempatan terpisah. Data di RS Persahabatan, dari 22 pasien tuberkulosis jenis ini, selain 6 orang sembuh, tercatat 6 orang meninggal, dua orang putus obat dan tidak terlacak, dan 8 orang masih dalam pengobatan, termasuk Emmy. DWI WIYANA