Waria Yogya Merasa Lebih Solid dari Gay Atau Lesbi
Editor
Evieta Fadjar Pusporini
Minggu, 24 November 2013 16:02 WIB
TEMPO.CO, Yogyakarta - Hidup dalam berbagai tekanan dari lingkungan sekitarnya, waria atau wanita pria memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap sesama kaumnya. "Mereka cukup solid," kata koordinator advokasi People Like Us-Satu Hati Yogyakarta, Renate Arisugawa, pada Tempo, Sabtu, 23 November 2013 sore.
PLU-Satu Hati merupakan sebuah lembaga yang konsen terhadap persoalan gay, lesbian, biseksual, dan transgender. Menurut Renate, keanggotaan lembaga ini didasarkan pada komunitas-komunitas mereka. "Sangat cair sekali keanggotaannya," katanya.
Meski organisasi ini terbilang cukup cair, lebih mudah mengkoordinasikan waria dalam kegiatan-kegiatan PLU-Satu Hati. Ketika ada agenda rapat atau kumpul misalnya, para waria dengan cepat merespon dan datang dibanding kelompok gay dan lesbian.
Ada beberapa alasan yang membuat kelompok waria memiliki solidaritas tinggi terhadap sesamanya. Menurut dia, di antara sebab itu adalah kuatnya tekanan yang mereka terima dari lingkungan sekitar, yakni keluarga hingga masyarakat. "Sejak kecil menerima tekanan," katanya.
Di keluarga, ia melanjutkan, waria dipaksa menjadi orang lain. Mereka diharuskan memakai pakaian lelaki, sementara nuraninya berontak karena menganggap dirinya sebagai perempuan. Di lingkungan masyarakat pun tak jarang mereka dibilang sebagai banci.
Di sekolah, tekanan itu tak berakhir. Mereka kerap menjadi korban bullying, baik dari sesama siswa atau bukan. Sehingga bagi waria, ujar dia, lembaga pendidikan tersebut bukanlah tempat yang nyaman. Mereka pun ingin cepat-cepat segera menyelesaikan sekolah--atau yang parah, mereka terpaksa drop out. "Ngapain juga sekolah kalau di sana di-bully," katanya. (Baca : Waria Yogya, Ikut Organisasi Agar Lebih Sejahtera)
Faktor itu pula, menurut Renate, membuat waria tak banyak berpendidikan tinggi. Dalam catatannya, rata-rata waria hanya berpendidikan SMA atau bahkan di bawahnya. Maka tak mengherankan, selain faktor sosial, di dunia kerja waria tak cukup memiliki akses ke perusahaan atau lembaga pemerintah.
Tekanan semacam itu jelas berbeda dengan kaum transgender lain. Gay dan lesbian, misalnya. Mereka cenderung bisa menyembunyikan identitas mereka dibanding waria.
Maryani, waria pendiri pondok pesantren khusus waria di Yogyakarta, mengatakan anggapan waria memiliki rasa solidaritas yang tinggi terhadap kaumnya tak sepenuhnya benar. "Tidak juga," katanya. Ia memberi contoh pengalaman, ketika ada waria yang meninggal, tak jarang waria lain memilih tak peduli terhadap jenazahnya. Padahal, kerap kali jasad waria itu juga ditolak oleh keluarganya sendiri.
ANANG ZAKARIA
Berita Terpopuler
Ini Bahasa di Kalangan Waria
Asam Garam Oma Yuyun Beroperasi di Taman Lawang
Makan Kacang Bikin Umur Panjang
Pakai Obat Kumur, Hadiah Nonton Piala Dunia 2014
HIPPI Mengajak Masyarakat Cinta Produk Indonesia
Mami Yulie: Kami Butuh Pengakuan