TEMPO.CO, Jakarta -Sepeda motor jenis Aprilia RSV4R itu menderu dan melaju tergesa memasuki area parkir toko swalayan Family Mart, Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Jumat, 19 Desember 2014. Edwin Junio, sang pengendara, turun dan mengelap tubuh motornya yang basah karena hujan. Dia mengusap-usapnya hingga tak sebulir air pun menempel di permukaan tubuh motor keluaran 2010 itu.
"Stiker Black Rock Shooter gue nanti rusak kalau enggak langsung dilap," kata Edwin, yang tidak peduli bajunya basah kuyup dan tangannya mengkerut kedinginan.
Black Rock Shooter yang dimaksud Edwin adalah tokoh anime—film kartun Jepang—yang dilambangkan oleh karakter gadis misterius yang memiliki rambut panjang dan bermata ungu. Gambar itu memenuhi sekujur motornya. "Gue adalah otaku yang suka dengan BRS, Black Rock Shooter," kata pria 21 tahun ini. Otaku adalah istilah Jepang untuk menyebut orang yang menekuni ketertarikan terhadap anime dan manga, komik Jepang. Hari itu dia bertemu dengan belasan kawannya yang sama-sama otaku.
Bila kita sedang jalan-jalan dan menemukan kendaraan yang dihiasi stiker berukuran besar serta bergambar karakter anime, manga, dan video game Jepang, itulah yang dinamakan dengan itasha. Kata “itasha” memiliki latar belakang yang rumit. Menurut sebuah artikel di Super Street Magic Magazine Tokyo, “ita” dan “sha” secara tradisional adalah singkatan untuk “mobil” dan “Italia“. "Tahun 1990-an mobil di Jepang yang ditutupi stiker berukuran besar kebanyakan mobil Italia," kata Edwin, yang mendirikan Itasha Indonesia bersama rekannya, Michael Sukiman.
Namun “itasha” dalam bahasa gaul Jepang artinya “mobil jelek”—kendaraan yang dimiliki oleh penggemar game dan anime. Jenis mobil itasha tidak menarik kaum perempuan di Jepang karena dinilai culun. "Otaku di sana (Jepang), konotasinya negatif. Tapi di sini jadi tren," ucap Edwin. Itasha sendiri merupakan sebutan umum untuk mobil. Sedangkan untuk sepeda motor disebut itansha dan untuk sepeda disebut itachari. <!--more-->
Kini itasha bisa dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Mereka tergabung dalam komunitas Itasha Indonesia, yang sudah berdiri selama dua tahun dengan 170 anggota. Kebanyakan mereka adalah “Generasi Dragonball”. Di Indonesia, menurut Edwin, Jakarta masih menjadi pusat alam semesta para itasha. Dia dan Michael menemukan “rakyat”-nya di acara-acara cosplay. "Rata-rata otaku semua," kata Aji Muhardifan, anggota Itasha Indonesia.
Di negara asalnya, otaku sering dikaitkan dengan kecanggungan sosial dan gagal menjadi anggota masyarakat yang bisa bersosialisasi. "Di Jepang banyak otaku tidak terbuka tentang kegiatannya karena takut akan reaksi sosial. Di Indonesia justru bisa berbaur dengan yang lain," ujar Edwin.
Sebagai otaku, Aji senang bergabung dalam komunitas ini karena kegiatan dia dan rekan anggota lainnya relatif sama. Yang paling sering mereka lakukan adalah menonton anime. Setelah itu bermain video game atau berselancar di Internet dan forum tentang anime. “Tapi, yang pasti juga suka otomotif banget,” kata Aji.
Ketika mulai mengidentifikasi diri sebagai otaku, Aji mengaku bahwa hal yang membuatnya bergairah dalam hidupnya adalah Hatsune Miku, penyanyi virtual yang namanya kira-kira berarti “suara dari masa depan”. Hatsune adalah vocaloid atau program bernyanyi yang dirancang dengan komputer. "Dia cantik, seksi, bisa menari dan menyanyi," kata Aji, yang mendekorasi motor Honda CBR-nya dengan sosok Hatsune.
Karakter anime pada kendaraan mereka mewakili karakter pemiliknya. Edwin, misalkan, lebih tertarik kepada Black Rock Shooter. “Dia gadis polos yang gigih, kuat, dan pemberani," kata Edwin. BRS adalah alter ego dari Mato Kuroi, gadis yang ceria dan berusaha bergaul dengan siapa saja. Bila Mato menderita, keluarlah BRS, yang akan menanggung beban tersebut dan bertempur.
Edwin pernah mengalami penderitaan serupa. Dia pernah diperlakukan tidak adil ketika kuliah di sebuah universitas swasta di Jakarta. Ketika itu hasil ujiannya tidak diakui pihak kampus hanya gara-gara dia tidak membawa jas lab komputer. Padahal, "Peruntukan jas itu tidak jelas.”
Edwin dituduh tidak berniat kuliah oleh pihak kampus. Padahal nilai indeks prestasinya mencapai 3,9 dari skala 4 pada semester sebelumnya. Karena kesal, ia menendang pintu lab komputer itu hingga bolong dan memutuskan cabut dari kampus. "Sejak kejadian itu, peraturan diubah. Tidak ada kewajiban lagi memakai jas lab, karena tidak ada hubungannya dengan kemampuan komputer."
Untuk hobi menghias sepeda motornya itu, Edwin menghabiskan biaya Rp 1,9 juta untuk stikernya saja. Harga motornya sendiri di kisaran Rp 600 juta. Menurut Edwin dan Aji, proses pembuatan stiker itasha tidak jauh berbeda dengan stiker biasa. Biasanya toko bisa membuat stiker hingga seukuran bodi mobil. "Kalau satu mobil harga stikernya bisa Rp 7 jutaan," kata Edwin.
Sebelum dicetak, pembuat stiker akan mengukur dulu bagian yang hendak ditempeli stiker. Lalu hasil pengukuran tersebut dipindahkan ke komputer dan digabungkan dengan desain yang diinginkan pemiliknya.
Heru Triyono
Berita lain:
Jokowi Janjikan Eva Bande Bebas di Hari Ibu
4 Rencana Menteri Susi yang Berantakan
Gubernur FPI Pantang Ucap Selamat Natal ke Ahok