TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Himpunan Masyarakat Hemofilia Indonesia Djajadiman Gatot mengatakan penyandang hemofilia tidak hanya membutuhkan pengobatan secara intensif, tapi juga dukungan moral dari keluarga agar percaya diri.
“Pengobatan hemofilia sangat mengganggu aktifitas sehari-hari, apalagi anak-anak penyandang hemofilia yang harus menerima transfusi faktor konsentrat secara teratur di rumah sakit,” kata Djajadiman menyambut Hari Hemofilia Sedunia, yang diperingati setiap tanggal 17 April, di Jakarta, Rabu, 15 April 2015.
Hemofilia adalah kelainan darah yang disebabkan oleh kurangnya hemoglobin sehingga penderita harus menerima transfusi darah sekali dalam sebulan. Darah penderita hemofilia sulit membeku.
Hemofilia adalah penyakit kelainan pendarahan yang diturunkan, sehingga penderitanya terbebani secara fisiologis, psikologis, dan ekonomis seumur hidup. Bagi pasien hemofilia, pengobatan dan perawatan harus dilakukan seumur hidup.
Menurut Djajadiman, anak-anak yang menderita hemofilia bisa tumbuh dewasa secara normal bila kondisinya dikelola dengan baik melalui pengobatan dan penanganan yang tepat ditambah dengan dukungan keluarga. “Pasien dan keluarga perlu mendapat pengetahuan yang mendalam agar mereka memahami bagaimana menghadapi penyakit ini,” katanya.
Terapi pengobatan hemofilia yang dilakukan hanya bersifat sementara karena penyakit kelainan darah ini tidak bisa disembuhkan. Menurut data World Federation of Hemophilia, 75 persen penderita hemofilia tidak menerima perawatan yang memadai atau bahkan tidak menerima perawatan sama sekali.
Pengobatan hemofilia melalui pemberian faktor konsentrat VIII, IX, atau VII membutuhkan biaya yang sangat tinggi, tergantung pada kondisi perdarahan pasien. Di Indonesia, satu-satunya asuransi yang menanggung biaya perawatan hemofilia adalah Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
“Penyandang hemofilia sebaiknya mengikuti Jaminan Kesehatan Nasional agar beban ekonominya terbantu,” kata Tubagus Djumhana Atmakusuma dari Perhimpunan Hematologi dan Transfusi Darah Indonesia.
Pemahaman dan kesadaran masyarakat Indonesia terhadap hemofilia masih rendah. Akibatnya, sering terjadi keterlambatan diagnosis, dan bahkan hemofilia tidak terdeteksi. Inilah yang menyebabkan jumlah pasien hemofilia yang terdiagnosis baru 1.025 orang, sementara jumlah keseluruhan penyandang hemofilia 25 ribu orang. Hanya 1 dari 24 penyandang hemofilia terdiagnosis di Indonesia karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap gejala dan penanganannya.