Bungkus Kertas Lebih Baik dari Styrofoam? Simak Faktanya

Reporter

Bisnis.com

Editor

Mitra Tarigan

Senin, 20 November 2017 09:03 WIB

Petugas melakukan kampanye pelarangan penggunaan styrofoam untuk bungkus makanan dan minuman di Bandung, Jawa Barat, 14 Desember 2016. TEMPO/Prima Mulia

TEMPO.CO, Jakarta - Sekitar setahun lalu, publik dihebohkan dengan pemberitaan soal larangan penggunaan styrofoam sebagai bahan pembungkus makanan dan minuman di sejumlah daerah. Material mirip gabus berwarna putih itu dianggap berbahaya dan berpotensi memicu sel kanker dalam tubuh.

Hingga saat ini, perdebatan mengenai keamanan styrofoam yang difungsikan sebagai pembungkus makanan masih berlanjut. Bahkan, mulai bermunculan sejumlah penelitian baru yang mementahkan anggapan bahwa material yang disebut juga dengan polistirena itu berbahaya.

Dalam sebuah kuliah umum bertajuk Styrofoam dalam Kehidupan Sehari-hari dan Pendayagunaan Sampah Polistirena di Institut Teknologi Bandung (ITB) belum lama ini, pandangan baru tentang styrofoam mulai dikuak oleh para ahli. Baca: Ngunduh Mantu Bobby- Kahiyang Ayu, 10 Kerbau akan Dipotong

Tenaga Ahli dari Lembaga Afiliasi Perguruan Tinggi dan Industri (LAPI) ITB, Akhmad Zainal Abidin, menjelaskan fakta-fakta yang selama ini kurang dipahami masyarakat awam tentang bahan yang terbuat dari monomer stirena tersebut.

Menurutnya, penggunaan polistirena sebagai kemasan makanan menjadi kontroversi ketika banyak orang percaya bahwa bahan utama styrofoam (yang secara ilmiah disebut dengan stirena) tidak aman untuk kesehatan jika terkontaminasi dengan makanan.

Advertising
Advertising

“Padahal stirena sendiri adalah zat kimia yang terdapat dalam sejumlah makanan yang biasa dikonsumsi manusia, seperti stroberi, kopi, dan kacang. Sementara itu, jumlah stirena yang ada dalam kemasan styrofoam untuk makanan hanya 0—39 ppm [part per million],” ujarnya.

Akhmad berpendapat stirena dalam kadar tersebut setara dengan kandungan yang terdapat di dalam kayu manis, daging sapi, biji kopi, stroberi, kacang, dan tepung yang lazim dan aman dikonsumsi manusia sehari-hari.

Dia melanjutkan kemasan makanan dari polistirena di Indonesia lebih banyak digunakan oleh pedagang makanan di pinggir jalan. Sebab, kemasan ini dipercaya mampu menahan panas dan dinginnya makanan, menjaga higienitas, dan lebih murah dibandingkan jenis pembungkus lain.

Akan tetapi, para aktivis lingkungan gencar meneriakkan soal produk ramah lingkungan dan mendesak agar styrofoam diganti dengan material lain seperti kertas. Akhmad berpendapat meskipun terkesan ramah lingkungan, kertas pada kenyataannya justru lebih membahayakan. Baca: Tips Cara Olah Jengkol agar Tidak Bau

“Kertas yang sering dipakai sebagai substitusi kemasan makanan dari polistirena sekilas memang tampak ramah lingkungan. Namun, faktanya, kemasan kertas memberi dampak buruk yang lebih besar terhadap lingkungan,” katanya.

Bukan hanya soal banyaknya pohon yang ditebang untuk diolah menjadi pulp, tetapi soal daya dekomposisinya. Kertas pembungkus makanan tersebut pada hakikatnya berlapis plastik yang membuatnya susah untuk didaur ulang.

“Ramah lingkungan itu bukan lagi persoalan mana yang terurai lebih cepat oleh alam, tetapi mana yang siklus atau daur ulang hidupnya lebih ramah lingkungan; mulai bahan baku, cara produksi, penggunaannya, sampai pendaurulangan sampahnya adalah yang paling sedikit memakan energi, tidak menimbulkan pemanasan global, dan SDA yang dipakai tidak belebihan,” kata Akhmad.

Dia menjabarkan kemasan polistirena terdiri atas 10 persen stirena dan 90 persen udara yang membuatnya menjadi kemasan plastik paling murah. Menurutnya, polistirena sebenarnya adalah material organik dari karbon dan hidrogen.

MENOLONG KONSUMEN

Sementara itu, Business Development dari Indonesian Olefin, Aromatic, and Plastic Industry Association (Inaplas) Budi Sadiman mengatakan kemasan yang murah bukan hanya akan menolong para pedagang kaki lima, tetapi juga konsumen.

Jika para pedagang harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk kemasan, mereka akan membebankan pengeluaran tersebut kepada konsumen agar keuntungan tidak berubah. Hal ini akan berdampak pada harga jual yang lebih tinggi dan akan menyusahkan konsumen kelas bawah.

“Seandainya kita mengganti kemasan menjadi bahan kertas, harga makanan akan meningkat Rp2.000—Rp5.000. Hal ini juga akan memengaruhi angka penjualan, karena konsumen akan ragu membeli makanan kaki lima yang mahal,” ungkapnya.

Sekadar catatan, tahun lalu salah satu daerah yang melarang penggunaan styrofoam adalah Bandung. Pemerintah Kota setempat memberlakukan larangan mengemas makanan dan minuman dengan styrofoam karena dicurigai membahayakan kesehatan tubuh dan merusak lingkungan.

Wali Kota Bandung Ridwan Kamil beranggapan kemasan styrofoam tidak bisa terurai di lingkungan. Buktinya, di sumber banjir yang terjadi di Ibu Kota Jawa Barat itu kerap ditemukan kantong kresek dan sampah styrofoam.

Badan Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) sebelumnya juga melarang penggunaan styrofoam karena mengandung benzena, yang merupakan satu dari 4 komponen toksin pemicu kanker selain toluena, etilbenzena, dan xilena.

Sementara itu, beberapa negara telah lama melarang penggunaan styrofoam. Jepang, misalnya, melarangnya karena styrofoam mengandung benzena yang mengganggu kelenjar endokrin yang berfungsi pada proses reproduksi manusia.

Berita terkait

Australia Cabut Bea Masuk Kertas A4 Indonesia, Momentum Tingkatkan Ekspor

53 hari lalu

Australia Cabut Bea Masuk Kertas A4 Indonesia, Momentum Tingkatkan Ekspor

Ekspor kertas A4 Indonesia ke Australia turun sejak pengenaan bea masuk anti dumping tersebut berlaku.

Baca Selengkapnya

Sertifikat Halal Diharapkan Bisa Tingkatkan Kepercayaan Masyarakat

27 Januari 2024

Sertifikat Halal Diharapkan Bisa Tingkatkan Kepercayaan Masyarakat

Konsumen Indonesia sangat memahami dan sadar akan makanan yang mereka konsumsi. Sertifikat halal semakin sering ditanyakan

Baca Selengkapnya

Hindari Makanan dan Minuman Ini bila Tak Ingin Terserang Migrain

15 Januari 2024

Hindari Makanan dan Minuman Ini bila Tak Ingin Terserang Migrain

Migrain merupakan masalah kompleks dan penyebab utamanya belum diketahui pasti. Berikut lima makanan dan minuman yang paling umum penyebab migrain.

Baca Selengkapnya

BPS: Inflasi 2,61 Persen di 2023, Makanan dan Minuman Jadi Penyumbang Terbesar

2 Januari 2024

BPS: Inflasi 2,61 Persen di 2023, Makanan dan Minuman Jadi Penyumbang Terbesar

Inflasi Indonesia untuk tahun 2023, yang menunjukkan angka sebesar 2,61 persen.

Baca Selengkapnya

Kenaikan Harga Gula Dunia Diyakini Tak Ganggu Industri Makanan dan Minuman, Kenapa?

28 Desember 2023

Kenaikan Harga Gula Dunia Diyakini Tak Ganggu Industri Makanan dan Minuman, Kenapa?

Kemenperin memastikan, kenaikan harga gula dunia tidak memengaruhi industri makanan dan minuman di Indonesia.

Baca Selengkapnya

BPJPH: Ada 487 Ribu Produk Makanan Minuman Belum Berlabel Halal

21 Desember 2023

BPJPH: Ada 487 Ribu Produk Makanan Minuman Belum Berlabel Halal

BPJPH sudah mengeluarkan sertifikat halal kepada 1,1 juta IKM makanan dan minuman di Indonesia.

Baca Selengkapnya

Milan Larang Penjualan Makanan dan Minuman Tengah Malam di Pusat Kota

31 Oktober 2023

Milan Larang Penjualan Makanan dan Minuman Tengah Malam di Pusat Kota

Peraturan baru ini diberlakukan setelah warga setempat menggugat balai kota atas kebisingan yang disebabkan oleh kehidupan malam di pusat Kota Milan.

Baca Selengkapnya

BNI Berangkatkan UMKM F&B Lokal ke Seoul Food & Hotel 2023

1 Juni 2023

BNI Berangkatkan UMKM F&B Lokal ke Seoul Food & Hotel 2023

Pameran ini dapat menjadi sarana branding bagi BNI Xpora dan UMKM binaan BNI untuk dikenal secara global.

Baca Selengkapnya

Perputaran Uang di Daerah Selama Lebaran 2023 Diprediksi Capai Rp67 Triliun, Ini Enam Sektor yang Paling Untung

18 April 2023

Perputaran Uang di Daerah Selama Lebaran 2023 Diprediksi Capai Rp67 Triliun, Ini Enam Sektor yang Paling Untung

Perputaran uang di daerah selama Lebaran diprediksi akan mencapai Rp67 triliun, berikut enam sektor yang paling untung.

Baca Selengkapnya

Prediksi Industri Makanan 2023 Tumbuh 7 Persen, Kemenperin: Samai Sebelum Pandemi

11 April 2023

Prediksi Industri Makanan 2023 Tumbuh 7 Persen, Kemenperin: Samai Sebelum Pandemi

Kemenperin memproyeksi industri makanan dan minuman (mamin) akan mampu tumbuh hingga tujuh persen.

Baca Selengkapnya