Gempa Lombok, Tips Lakukan Siap Siaga dengan Keluarga
Reporter
Tempo.co
Editor
Mitra Tarigan
Selasa, 7 Agustus 2018 05:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Gempa Lombok menjadi perhatian masyarakat Indonesia dan dunia. Hingga Senin 6 Agustus 2018, gempa bumi yang berkekuatan 7 skala richter itu memakan korban 98 orang meninggal, 236 luka-luka, dan ribuan rumah rusak. Kejadian gempa bumi seperti di Lombok itu bisa terjadi di berbagai daerah Indonesia. Masalahnya, adalah apakah semua penduduk Indonesia sudah paham untuk melakukan berbagai bencana.
Baca: Gempa Lombok, Pentingnya Pengetahuan Siaga Bencana Sejak Dini
Psikolog Pendidikan dan Inisiator Gerakan Peduli Musik Anak, Karina Adistiana mengatakan pendidikan tentang kesiapsiagaan bencana di Indonesia memang sangat kurang. Saat ada bencana seperti gempa Lombok , menurut Karina, yang akan tersiar di televisi kebanyakan hanya nyanyian sendu Ebiet G Ade, tanda daerah itu berduka. Lalu media televisi juga biasanya hanya menampilkan gambar gambar korban atau dampak bencana. "Padahal, ada baiknya televisi juga menyiarkan cara siap siaga bencana. Dalam bencana gempa bumi kan gempa itu bisa terjadi berulang-ulang," kata Karina saat dihubungi Senin 6 Agustus 2018.
Kesiapsiagaan bencana penting sekali diajarkan sedini mungkin. Ilmu kesiapsiagaan bisa diajarkan sejak di lingkungan keluarga. Karina mengatakan orang tua seharusnya memberi tahu anak-anak mereka apa yang perlu dilakukan bila bencana terjadi. Misalnya dalam hal titik kumpul. "keluarga bisa menyepakati di mana titik kumpul mereka bila terpisah karena bencana alam yang terjadi," kata Karina.
Menyepakati tempat kumpul keluarga juga perlu dilakukan bila kejadian bencana alam itu terjadi saat waktu bekerja. Si anak bisa saja ada di sekolah, sedangkan orang tua bekerja. Maka untuk menghindari keluarga yang terpisah, mereka bisa saling berjanji untuk bertemu di titik yang terlah disepakati. Hal itu terjadi pada saat bencana tsunami di Aceh. Banyak sekali keluarga terpisah karena saling tidak mengetahui keberadannya.
Selain itu, penting pula agar orang tua menyampaikan alamat dan nomor kontak sanak saudara. Sehingga bila terpisah dengan keluarga inti, maka anggota keluarga lain bisa mencari famili mereka yang untuk diminta bantuan. "Bila ada bencana, semua anggota keluarga harus ajarkan tahu lari ke mana? Lokasi gedung evakuasi terdekat. Keluarga harus punya standar operasi prosedur itu," kata Karina.
Baca: Gempa Lombok, 4 Prinsip Keamanan Jepang yang Bisa Dicontoh
Karina sering pergi ke berbagai tempat. Bila di hotel atau tempat baru ia menginap, hal pertama yang akan dilakukannya adalah mengenali lingkungannya. Ia akan selalu memastikan di mana kantor polisi terdekat. Seberapa jauh alat pemadam kebakaran, dan mengingat mana tangga darurat.
<!--more-->
Rilis yang dilansir Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pada 26 April 2018 di bnpb.go.id pun membenarkan kesiapsiagaan diri dan keluarga adalah penting. Individu sebagai bagian dari keluarga diharapkan memiliki rencana kesiapsiagaan bencana. Kepala BNPB Willem Rampangilei menyampaikan bahwa kesepakatan pada saat ‘prabencana’ perlu dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga agar mereka lebih siap menghadapi situasi ketika darurat bencana.
Baca: Teman Terjebak di Gili Trawangan, Sandiaga Kontak Gubernur NTB
“Masing-masing keluarga perlu menyepakati rencana menghadapi situasi darurat dengan beberapa skenario, karena aksi yang perlu dilakukan bisa menjadi berbeda untuk kondisi yang berbeda. Skenario dibuat bersama oleh seluruh anggota keluarga sesuai jenis bahaya yang mengancam. Dalam setiap skenario, disepakati siapa melakukan apa, dan bagaimana caranya,” kata Willem dalam emperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana 2018.
Kesiapsiagaan sudah sepatutnya menjadi kesadaran setiap individu sebagai bagian dari keluarga karena wilayah Indonesia rawan bencana. Hal ini bercermin dari fakta geologis dan hidrometeorologis bahwa Indonesia memiliki potensi bencana seperti gempa bumi, tsunami, erupsi gunung api, banjir, longsor, kekeringan, dan angin puting beliung. Data BNPB mencatat bahwa 2.372 bencana terjadi sepanjang 2017 dengan mengakibatkan korban meninggal 377 jiwa.
keluarga juga diminta latihan untuk melakukan latihan evakuasi bencana. Latihan evakuasi bencana untuk memperkuat kapasitas kesiapsiagaan masyarakat sehingga mereka mengenal ancaman risiko di sekitarnya, mampu mengelola informasi peringatan dini, memahami rambu peringatan, serta mengurangi kepanikan dan ketergesaan saat evakuasi yang biasayanya justru menimbulkan korban dan kerugian.
Di sisi lain, kesiapsiagaan individu mampu menyelamatkan dari bencana. Sementara itu, Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB Wisnu Widjaja menguatkan hal tersebut melalui pembelajaran dari Jepang. Hasil kajian dan survei yang dilakukan di Jepang terhadap kejadian gempa Great Hansin Awaji (1995) menunjukkan bahwa persentase korban selamat dalam durasi ‘golden time’ disebabkan oleh (1) Kesiapsiagaan diri sendiri sebesar 35 persen, (2) Dukungan anggota keluarga 31,9 persen, (3) Teman/Tetangga 28,1 persen, (4) Orang lewat 2,60 persen, (5) Tim Penolong 1,70 persen, (6) Lain-lain 0.90 persen. “Kesiapsiagaan individu dan keluarga menjadi begitu penting, mengingat faktor yang paling menentukan untuk keselamatan diri dari potensi bencana adalah penguasaan pengetahuan yang dimiliki oleh diri sendiri,” ujar Wisnu.
Baca: Gempa Lombok, Pastikan Bayi Tidur di Tempat Aman dan Terpisah
Berdasarkan kondisi wilayah Indonesia rawan bencana serta merefleksikan hasil kajian tersebut, sebuah gerakan aksi bersama diperlukan oleh setiap pihak untuk penyelenggaraan latihan kesiapsiagaan. Latihan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapsiagaan seluruh komponen bangsa dalam menghadapi potensi bencana di Indonesia. Dalam situasi darurat, pengambilan keputusan secara cepat dapat meningkatkan peluang selamat dan meminimalkan dampak kerugian.
Menutup pernyataan, Wisnu menekankan bahwa rencana kesiapsiagaan yang disusun harus dikomunikasikan dengan anggota keluarga di rumah, kerabat yang ada dalam daftar kontak darurat, serta mempertimbangkan sistem yang diterapkan lingkungan sekitar dan pihak berwenang. “Bila rencana sudah disepakati, keluarga perlu melakukan simulasi secara berkala agar tidak panik dalam situasi darurat. Dengan informasi yang cukup dan rencana yang telah disepakati sebelum terjadi bencana, diharapkan dapat memperlancar berbagai proses pengambilan keputusan oleh setiap anggota keluarga dalam situasi darurat.”