Menjadi Musisi Harus Siap Tidak Pasti Materi?
Reporter
Bisnis.com
Editor
Mitra Tarigan
Kamis, 27 September 2018 08:05 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kini, menjadi seorang musisi musik klasik berarti rela menghadapi ketidakpastian materi. Pendapatan seorang musisi klasik saat ini sangat terbatas dan tidak lagi seperti dulu, dielu-elukan bak superstar.
Baca: Musisi Tanah Air Ucapkan Belasungkawa untuk Haringga Sirila
Fenomena ini disebabkan kebanyakan konser yang dilakukan oleh orkestra-orkestra di Indonesia merupakan swadaya alias hampir tanpa sponsor.
Sirkulasi uang yang ada di dalam konser-konser yang terkesan mewah tersebut sangat minim, bahkan sampai tidak menutupi biaya konser tersebut. Alhasil, modal awal penyelenggara tidak kembali dan akhirnya lebih sering merugi.
Direktur Eksekutif Bandung Philharmonic Airin Efferin menjelaskan dia mendirikan orkestra tersebut dengan dasar kesukaannya pada musik klasik meskipun kadang tidak mencatat penghasilan. “Senang saja bermusik. Kalau (saya) tidak senang buat apa (saya dirikan)?” jelas Airin sembari tertawa.
Biasanya, kompetisi mendapatkan pekerjaan sebagai seorang musisi tetap di sebuah orkestra amat ketat dan kerap tidak sehat. Jika, misalnya, satu kursi pemain cello kosong, akan ada 100 pemain cello yang akan mengikuti audisi untuk mengambil tempat tersebut.
Namun, di Bandung, dengan iklim kompetisi yang masih sehat, menjadi musisi klasik adalah sebuah peluang lapangan pekerjaan.
Bagi para lulusan jurusan musik Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dunia musik klasik merupakan lapangan pekerjaan yang luas. Bagi Fadliansyah, lulusan jurusan musik UPI, Bandung Phillharmonic menjadi tempat yang stabil untuk bekerja.
“Sebelum masuk ke Bandung Philharmonic, saya sudah sering main musik klasik di mana-mana. Sekarang ada kesempatan (berkarir di) orkestra dan ada audisi. Sistemnya lebih jelas di Bandung Philharmonic, kalau di lain kan cabut-cabutan,” kata Fadli yang kini menjadi violinis Bandung Philharmonic.
Walau demikian, Fadli masih harus mengajar dan bermain di kelompok musik lainnya untuk memenuhi kebutuhan keseharian. Dia menceritakan Bandung Philharmonic hanya mengadakan konser tiga kali dalam setahun. Namun masih ada pula beberapa orang yang bisa hidup dari musik. "Bahkan, pendapatannya gedean main musik klasik dibanding mengajar," katanya.
Baca: 9 Musisi yang Membatalkan Konser di Israel
Selain Fadli, ada beberapa violinis Bandung Philharmonic lain yang memiliki pekerjaan kedua sebagai guru, seperti Agung Pujiana N. Ketika ditanya mengapa tidak menjadi musisi klasik secara penuh, Agung beralasan sistem manajemen pada orkestra di Indonesia tidak seperti bekerja pada sebuah perusahaan yang menghasilkan pendapatan stabil.
Bagi Agung, Bandung Philharmonic hanya sebagai tempatnya menyalurkan hobi. "Kedua, tempat untuk memotivasi saya untuk belajar terus,” kata Agung.