Ajarkan Waspada Bencana dengan Mendongeng
Reporter
Dini Pramita
Editor
Mitra Tarigan
Minggu, 18 November 2018 16:59 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Mendongeng, banyak manfaatnya. Kisah dongeng bisa membantu anak berimajinasi. Dengan menyelipkan berbagai pelajaran moral, mendongeng juga bisa membiasakan anak untuk berbuat baik dan saling menghormati. Dongeng pun bisa menjadi salah satu alat untuk mengenalkan kewaspadaan bencana kepada generasi muda. Hal ini seperti yang dilakukan Awam Prasongko, pendiri Kampung Dongeng.
Baca: Tips Agar Dongeng pada Anak Lebih Menarik
"Bu guru, bu guru. Kenapa bisa terjadi gempa bumi? Kan aku jadinya takut." Suara Awam, berubah meniru suara anak-anak. Sejurus kemudian, suaranya berubah lagi menyaru suara ibu guru: "Tidak usah takut, nak. Yang terpenting kita harus siap." Percakapan imajiner antara murid dan ibu guru ini terus terjadi sampai muncul sosok imajiner lain, pak guru.
Kak Awam, panggilan akrabnya, sengaja memunculkan sosok terakhir ini untuk menjelaskan apa saja yang harus dilakukan ketika terjadi gempa. Dia mengubah suaranya jadi lebih besar dan rendah untuk menggambarkan peralihan dari guru perempuan ke guru laki-laki. "Yang pertama, ayo langsung ke bawah meja, tutupi kepala…"
Dalam segmen ini, dia mengajak seluruh anak mempraktikkannya langsung, menggiring mereka ke bawah meja dan memandu apa saja yang harus dilakukan. Namun metode berbeda diterapkan pada anak-anak yang sudah menjadi korban bencana alam dan tinggal di pengungsian. Metode senam gempa menjadi salah satu cara andalan untuk menyampaikan pesan tanggap bencana. Misalnya, syair yang digunakan dalam musik pengiring senam diubah menjadi rangkaian instruksi ketika gempa datang.
Pentingnya meningkatkan kesiap-siagaan anak-anak menghadapi bencana baru disadari oleh Awam setelah menyelesaikan tugas kerelawanan di Aceh dan berbagai tempat lainnya yang dilanda bencana. "Saat itu saya berpikir bagaimana jika mereka ditinggalkan, apakah mereka siap jika menghadapi bencana lagi," kata dia.
Karena itu, sejak Kampung Dongeng pertama kali didirikan pada 18 Mei 2009, ia langsung menyisipkan materi tentang kebencanaan setiap kali roadshow ke sekolah-sekolah dan pos-pos pengungsian. Sasarannya tak hanya anak TK dan SD. Komunitas Kampung Dongeng yang berlokasi di Ciputat, Tangerang Selatan, itu juga menyasar remaja yang duduk di bangku SMP dan SMA. Tentu saja materi dan cara bertutur berbeda.
Awam sangat meyakini dongeng merupakan cara ampuh untuk membangun cara berpikir anak-anak. Bahkan, bisa mengubah perilaku mereka.
Di barisan ini Awam tidak sendiri. Keampuhan dongeng ini pula yang memikat Priyangga Djatmika, 24 tahun, mendirikan komunitas Pahlawan Bencana di Bandung pada 2014 dengan berfokus pada prabencana.
Priyangga mengawali dongengnya dengan menjelaskan bencana secara umum, bencana alam dan bencana yang disebabkan oleh ulah manusia. "Kami mengajak mereka untuk mengurangi risiko bencana akibat manusia, seperti tidak membuang sampah sembarangan," kata dia.
Baru setelah itu topik bencana mengerucut ke risiko bencana yang ada di daerah. Misalnya, gempa, banjir, dan potensi bencana dari keberadaan gunung api Tangkuban Parahu.
Sebagaimana Awam, Priyangga juga menerapkan simulasi. "Kami mengajak mereka berkeliling untuk mengidentifikasi daerah aman seperti lapangan terbuka jika terjadi gempa. Jika berada di lorong yang banyak pigura, mereka harus tanggap bahwa pigura tersebut rawan jatuh," ujarnya. Dongeng dan simulasi itu membawa pesan agar anak-anak tahu apa yang harus dilakukan ketika bencana sehingga terhindar dari kepanikan dan meningkatkan daya survival.
Banyak cara dilakukan agar dongeng yang dilantunkan tak cepat membuat jenuh. Salah satunya dengan menggunakan video dan lagu yang diaransemen sendiri. Lagu tersebut diciptakan interaktif, supaya anak-anak bisa berpartisipasi melalui tepukan tangan dan gerakan-gerakan lainnya. "Kadang kami juga membawa maket gunung api dan banjir."
Nurul Suhartini, 25 tahun, staf kurikulum Pahlawan Bencana, mengatakan mereka tak hanya mendongeng untuk anak-anak berusia TK dan SD. Sebab itu, cara menyampaikan pesan pun berbeda. Untuk anak-anak usia di bawah TK, mereka membuat wayang-wayangan karena kelompok usia tersebut lebih tertarik pada visual. Untuk usia lebih dewasa, mereka membawa maket untuk menarik perhatian. "Kalau SD bisa cuma dongeng biasa saja," kata dia.
Baca: Pernikahan Berkonsep Negeri Dongeng Kian Digandrungi
Lain lagi jika kelompok ibu-ibu yang jadi sasarannya. Menurut Nurul, mereka akan mengajak para ibu untuk berani mendongeng dengan gayanya masing-masing. Tujuannya supaya para ibu terbiasa mendongeng untuk anak-anak. "Kami hanya agen, setiap orang yang tahu tentang materi ini kami anggap sebagai pahlawan bencana."
ANWAR SISWADI | DINI PRAMITA