Riri Riza Ungkapkan Bedanya Jadi Sutradara Dulu dan Sekarang
Reporter
Tempo.co
Editor
Mitra Tarigan
Sabtu, 22 Desember 2018 07:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Sutradara Riri Riza mengatakan ada perubahan besar jika ingin menjadi sutradara saat ini dengan menjadi sutradara sebelum reformasi. "Tidak seperti sekarang, ada banyak tahapan yang harus dilalui bila ingin menjadi sutradara saat itu," kata Riri dalam peringatan 20 tahun Film Kuldesak Rabu 19 Desember 2018.
Baca: Riri Riza: Indonesia Ladang Subur untuk Produksi Road Movie
Riri mengatakan, untuk menjadi sutradara sebelum reformasi, seseorang harus menjadi penulis naskah, lalu asisten sutradara 3 kali lalu baru menjadi sutradara. "Dulu saya pikir, saya tidak akan bisa menjadi sutradara muda kalau tahapannya banyak sekali," kata Riri.
Saat mengetahui untuk menjadi sutradara harus melalui banyak sekali tahap, Riri pun merasa marah 20 tahun lalu itu. "Sebagai anak muda, saya tidak mau tahu. Saya dulu akhirnya cuma bisa marah," kata Riri. Menurut Riri, kondisi itu tentunya sangat berbeda dengan sutradara zaman sekarang yang bisa langsung menjadi sutradara.
Bersama tiga temannya, Rizal Mantovani, Mira Lesmana, dan Nan Achnas akhirnya mereka membuat film tanpa restu organisasi perfilman yang dipimpin Slamet Rahardjo saat itu. Keempatnya membuat film berjudul Kuldesak. Maklum bila diketahui organisasi, mereka pun harus mengikuti berbagai tahap yang sangat rumit itu untuk menjadi sutradara. "Kami dulu benar-benar harus membuat film secara ilegal. Kalau kata media saat itu, kami bergerilya," kata Mira.
Kuldesak diluncurkan 20 tahun lalu tepatnya pada 27 November 1998. Film itu pertama kali diluncurkan di 3 layar bioskop di Jakarta, kemudian bertambah masing-masing 1 layar di kota Bandung, Yogyakarta dan Surabaya. Hanya di 6 layar bioskop Kuldesak disambut meriah dan menghasilkan lebih dari 100.000 penonton, angka yang fenomenal untuk jumlah layar yang begitu minim. Dibuat hampir 3 tahun lamanya secara bergerilya dari 1995 hingga 1998, Kuldesak disebut sebagai penanda era baru perfilman Indonesia oleh para pengamat film, baik di dalam maupun di luar negeri.
Baca: Riri Riza: Tino Saroengallo Lebih dari Sekadar Aktor
Untuk mengenang perjuangan keempat sutradara dalam bergerilya dalam membuat film itu, mereka pun merilis buku berjudul 20Kuldesak : Berjejaring, Bergerak, Bersiasat, Berontak. Selain untuk menampung arsip-arsip serta dokumen-dokumen Kuldesak yang selama ini tersebar dan tercecer di berbagai tempat, buku ini juga bertujuan untuk menceritakan kembali bagaimana sebuah karya film dikerjakan di tengah kemelut ekonomi, sosial dan politik, dari 1995 sampai 1998. "Dan tentunya juga buku ini adalah album kenangan bagi semua yang terlibat dalam proses film Kuldesak," kata Riri.
<!--more-->
Kuldesak dikerjakan secara gotong royong dengan mengerahkan jejaring pertemanan yang dimiliki empat sutradaranya, mulai dari asisten produser, aktor dan aktris, penata kamera, penata artistik, editor, penata suara. Dengan keras kepala dan diselingi spontanitas, Kuldesak dijadikan siasat, seperti ‘lokomotif’ yang menarik gerbong-gerbong, bergerak menuju tujuan bersama: menghidupkan kembali film Indonesia yang sedang buntu saat itu.
Baca: Mira Lesmana dan Riri Riza Syuting Kulari ke Pantai di Banyuwangi
Buku yang dirilis ini ditulis dua bahasa (Indonesia dan Inggris). Buku ini dikonsep dan disunting oleh Mirwan Andan, berisi foto-foto dokumentasi cuplikan adegan dan jepretan di balik layar hingga hasil pindaian tumpukan dokumen sepanjang penggagasan, pembuatan dan penyebaran film Kuldesak. Teks pendampingnya berupa tulisan-tulisan yang terbit di berbagai media massa cetak sekitar 1997 dan 1998, antara lain artikel-artikel yang ditulis Leila S. Chudori, J.B. Kristanto, dan Tam Notosusanto, juga disertai tulisan dan wawancara para pemerhati film Indonesia, seperti jurnalis Angga Rulianto dan kritikus serta konsultan program film asal Singapura Phillip Cheah. Dua tulisan panjang membahas Kuldesak secara teoritis yang pernah terbit di Jerman dan Inggris karya dua Indonesianis asal Amerika Serikat, Dahlia Gratia Setiyawan dan Dag Yngvesson, turut melengkapi buku ini.
Selain itu, dihadirkan juga tulisan kontribusi empat penulis dari latar belakang berbeda, membahas empat etos kerja yang berlaku dalam produksi Kuldesak yang menjadi anak judul buku ini, mereka adalah: Neng Dara Affiah (aktivis perempuan, penulis serta pengajar sosiologi di Universitas Nahdlatul Ulama dan UIN Syarif Hidayatullah); Irma Hidayana (vokalis latar band Efek Rumah Kaca, salah satu pendiri inibudi.org dan kandidat doktor ilmu kesehatan masyarakat di Columbia University, AS), Nirwan Ahmad Arsuka (penulis dan inisiator sekaligus penanggung jawab platform gerakan literasi Pustaka Bergerak dengan sekitar 2.000 simpul dan 15.000 relawan di seluruh Indonesi), dan Azhari Aiyub (sastrawan penulis novel Kura-Kura Berjanggut, pendiri Komunitas Tikar Pandan, Banda Aceh dan penerima Kusala Sastra Khatulistiwa pada 2018 dan Free Word Award dari Poets of All Nations pada 2005).
Acara peringatan 20 tahun film Kuldesak ini tidak hanya ditandai dengan peluncuran buku, namun juga menyajikan Pameran Sehari Arsip Kuldesak serta pemutaran film Kuldesak dengan file hasil digitasi dari materi film print 35mm. Kuldesak merupakan omnibus yang terdiri dari empat segmen cerita yang dijahit jadi satu, masing-masing ditulis dan disutradarai oleh Mira Lesmana, Nan Achnas, Riri Riza dan Rizal Mantovani. Ceritanya memfokuskan diri pada empat tokoh anak muda yang dihadapkan pada beberapa masalah yang berbeda-beda di kota metropolitan Jakarta pada pertengahan 1990an.
Baca: Alasan Riri Riza Kembali Garap Film Anak
Khusus pemutaran film Kuldesak akan dapat dinikmati lebih banyak penonton pada 30 Desember 2018 nanti, hanya satu hari dan hanya satu kali penayangan, di 9 kota: Jakarta, Bandung, Surabaya, Makassar, Yogyakarta, Semarang, Solo, Malang dan Padang. Jangan sampai ketinggalan!