Menyasar Cara Belajar Generasi Z
Reporter
Anwar Siswadi (Kontributor)
Editor
Arkhelaus Wisnu Triyogo
Senin, 10 Februari 2020 13:30 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Penggunaan teknologi informasi untuk sektor pendidikan diyakini memberi dampak positif bagi pengembangan kompetensi pelajar yang mayoritas diisi Generasi Z. Kepala Pusat Teknologi dan Komunikasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Gogot Suharwoto, mengatakan generasi pelajar yang lahir dalam rentang tahun 1995 sampai 2010 ini menghadapi tantangan untuk berbaur dalam masyarakat dunia. “Kita itu sudah masyarakat dunia dan kita enggak bisa hidup sendiri, sehingga mereka harus punya global society skills,” kata Gogot di Jakarta, Jumat, 7 Februari 2019.
Generasi Z mendominasi sebaran pelajar di Indonesia hari-hari ini. Berdasarkan Data Statistik Pendidikan Indonesia 2018/2019, jumlah peserta didik berbagai jenjang mencapai 44,9 juta. Sebanyak 71,48 persen pelajar berusia 5-24 tahun tercatat sebagai pengguna telepon selular. Selain itu, sebanyak 24 persen adalah pengguna komputer dan sebanyak 53,06 persen tercatat sebagai pengguna internet. Besaran angka ini menjadi gambaran potensi pelajar untuk memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk mendapatkan bahan ajar. “Penduduk dunia sudah menggunakan internet.”
Penggunaan perangkat teknologi ini akhirnya berpengaruh pada perubahan pola pembelajaran di sekolah. Menurut Gogot, guru harus juga bisa mengikuti perkembangan zaman dengan mempelajari teknologi. Dengan begitu, seorang guru bisa adaptif berkolaborasi dengan para siswa. “Peran guru bergeser, bukan hanya memberi materi, tetapi bisa menjadi penyedia konten juga,” ujar dia.
Gogot bercerita, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, telah berkoordinasi dengan beberapa komunitas yang bergiat dalam teknologi pendidikan, seperti Zenius Education, untuk memetakan kembali karakter pelajar. Selain itu, menurut dia, koordinasi penting untuk menyelaraskan konten edukasi di berbagai penyedia materi ajar tersebut. “Perkembangan anak-anak harus selalu diajarin bahwa belajar sepanjang hayat. Long life learning itu harus ditanamkan sejak dini, dan peran guru harus diubah,” kata Gogot.
Sebelumnya, pemerintah mengeluarkan sejumlah terobosan dalam bidang pendidikan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim mengumumkan agenda utama “Merdeka Belajar” yang diawali dengan penghapusan ujian nasional. Agenda tersebut antara lain asesmen siswa yang memberi ruang bagi guru dan sekolah dalam menilai hasil belajar siswa dan asesmen kompentensi minimum dan survei karakter sebagai pengganti ujian nasional.
Pendiri sekaligus Chief Education Officer, Zenius Education, Sabda Putra Subekti, mengatakan pihaknya memiliki banyak kesamaan dengan kebijakan pemerintah untuk sektor pendidikan. Zenius menyasar pelajar dari kalangan Generasi Z untuk memperbaiki kualitas pendidikan. Sebagai penyedia konten belajar, Zenius memiliki target utama memperbaiki tampilan setiap materi ajar, seperti animasi dan konsep materi, yang lebih diterima Gen Z. “Kami punya standar kurikulum, tetapi kami prinsipnya mau membuat orang ketagihan belajar di mana-mana. Konten sama teknologi akan menyatu sehingga menyenangkan,” ujar dia.
Konsep pembelajaran Gen Z bukan dibuat dengan cara menghapal konsep secara cepat. Start up pionir pendidikan berbasis teknologi yang berdiri sejak 2004 ini menekankan dua aspek. Pertama, tujuan pragmatis untuk memenuhi nilai ujian sekolah. Kedua, efek terhadap kesiapan siswa untuk menghadapi realitas. “The really good education itu bukan kita ingat materinya, tetapi efeknya pada realitas seumur hidup dan karakternya,” kata dia. “Itu target utama kami.”
Adapun pendiri Bimbel SMARRT, Riky Riandie, mengatakan kebijakan pemerintah di berbagai jenjang seperti penghapusan ujian nasional hingga kuliah lima semester tidak akan berdampak bagi bisnis bimbingan belajarnya. Menurut dia, pelajar, yang didominasi Generasi Z, tetap akan menghadapi ujian seperti ujian tulis berbasis komputer dan ujian masuk perguruan tinggi. Ia berharap kebijakan ini menjadi angin segar bagi para pegiat konten edukasi di media sosial. “Saya yakin pasarnya tetap di online. Kemungkinan mindset orangtua berubah kalau enggak bimbel enggak apa-apa, padahal nilai rapor juga masih penting.”