Regulator Amerika Serikat Izinkan Remdesivir jadi Obat Corona
Reporter
Antara
Editor
Mitra Tarigan
Minggu, 3 Mei 2020 12:46 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Regulator Amerika Serikat pada Jumat 1 Mei 2020 mengizinkan penggunaan darurat remdesivir sebagai obat untuk pasien virus corona baru atau COVID-19 sehingga mereka bisa pulih dengan cepat.
Ini adalah obat pertama yang terbukti membantu memerangi COVID-19, yang telah menewaskan lebih dari 230.000 orang di seluruh dunia, mengutip laporan Times, Minggu 3 Mei 2020.
Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (Food and Drug Administration/FDA) memberikan persetujuan penggunaan darurat setelah hasil awal dari studi yang disponsori pemerintah menunjukkan bahwa remdesivir buatan Gilead Sciences mempersingkat waktu pemulihan hingga 31 persen, atau rata-rata sekitar empat hari, untuk pasien Corona yang dirawat di rumah sakit.
Penelitian terhadap 1.063 pasien adalah tes obat terbesar dan paling ketat dan termasuk kelompok pembanding yang menerima perawatan biasa sehingga efek remdesivir dapat dievaluasi dengan ketat.
Presiden Donald Trump mengumumkan keputusan FDA tersebut di Gedung Putih.
Mereka yang diberi obat dapat meninggalkan rumah sakit dalam 11 hari rata-rata dibandingkan 15 hari untuk kelompok pembanding. Obat ini juga dapat mengurangi kematian, dari sebagian hasil yang diungkapkan sejauh ini.
Anthony Fauci dari National Institutes of Health mengatakan obat itu akan menjadi standar perawatan baru untuk pasien COVID-19 yang sakit parah seperti yang ada dalam penelitian ini.
Obat belum diuji pada orang dengan penyakit ringan, dan saat ini diberikan melalui infus di rumah sakit.
Gilead mengatakan akan menyumbangkan stok obat yang tersedia saat ini dan meningkatkan produksi untuk menghasilkan lebih banyak.
Tidak ada obat yang disetujui sekarang untuk mengobati pasien COVID-19, dan remdesivir masih perlu persetujuan resmi bukan sekadar untuk penggunaan darurat.
FDA sebelumnya memberikan otorisasi penggunaan darurat untuk obat malaria, hydroxychloroquine, setelah Presiden Donald Trump berulang kali mempromosikannya sebagai pengobatan yang mungkin untuk COVID-19.
Namun, tidak ada penelitian besar berkualitas tinggi yang menunjukkan obat ini bekerja untuk itu, dan memiliki masalah keamanan yang signifikan.