Tenaga Kesehatan Akui Sulit Tes RT-PCR di Jakarta, Ini Kata Pakar
Reporter
Sarah Ervina Dara Siyahailatua
Editor
Yayuk Widiyarti
Jumat, 8 Mei 2020 17:40 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Memasuki minggu ke-9 infeksi wabah virus corona di Indonesia, per 7 Mei 2020 telah ditemukan 12.776 kasus positif dan 930 meninggal dunia. Di antara ribuan kasus positif tersebut, terdapat pula sejumlah tenaga kesehatan yang terpapar dan wafat.
Sebagai salah satu bentuk pencegahan dari potensi penularan Covid-19, Senior Advisor on Gender and Youth WHO, Diah Saminarsih, mengatakan strategi pemeriksaan seperti tes RT-PCR harus digencarkan, bukan hanya kepada masyarakat tapi juga tenaga kesehatan.
“Pemerintah Indonesia tidak boleh lengah menerapkan strategi test, trace, isolate, melakukan pemeriksaan, melacak kasus penularan, serta melakukan isolasi bagi ODP, PDP, baik masyarakat maupun garda terdepan seperti tenaga kesehatan,” katanya dalam keterangan pers yang diterima Tempo.co pada 8 Mei 2020.
Sebagai episenter Covid-19, Jakarta telah terus meningkatkan kapasitas dan alokasi pemeriksaan melalui RT-PCR. Per 4 Mei 2020, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melaporkan sebanyak 80.192 orang telah menjalani rapid test di enam wilayah kota dan kabupaten administrasi DKI Jakarta dengan persentase positif Covid-19 sebesar 4 persen.
Sayangnya, tenaga kesehatan sebagai kelompok risiko tinggi terinfeksi dan rentan menginfeksi belum semua mendapat akses pemeriksaan Covid-19 yang terjangkau dan cepat karena keterbatasan kapasitas tes. Salah satu dokter yang bekerja di sebuah rumah sakit di Jakarta, Anggraini, menyampaikan kesulitan yang dialaminya dan rekan sejawat untuk memperoleh pemeriksaan.
“Meskipun saya dan rekan-rekan memiliki frekuensi kontak yang tinggi dengan pasien rumah sakit, baik yang berstatus positif Covid-19, orang tanpa gejala, orang dalam pemantauan, maupun pasien dalam pengawasan, namun fasilitas pemeriksaan tetap diprioritaskan untuk masyarakat sesuai Standard Operating Procedure (SOP) dari pemerintah provinsi,” ujarnya.
Ia menambahkan pada kenyataannya beberapa tenaga kesehatan dan staf di rumah sakit justru berstatus positif Covid-19 meski tidak menunjukkan gejala.
“Oleh karenanya, kami membutuhkan pemeriksaan yang hasilnya dapat diketahui dengan cepat agar segera bisa menentukan perawatan selanjutnya dan tidak bekerja untuk mencegah penularan ke tenaga kesehatan lain atau bahkan pasien,” tuturnya.
Ketua Kolegium Urologi Indonesia dan Penggagas SBC, Akmal Taher, juga menjelaskan bagaimana tenaga kesehatan hanya memperoleh pemeriksaan RT-PCR jika mereka menunjukkan gejala dan berisiko tinggi. Untuk itu, ia meminta agar pemerintah menetapkan kesepakatan pemeriksaan RT-PCR dengan optimal bagi tenaga medis.
“Harapannya, ada aturan atau kesepakatan terkait frekuensi pemeriksaan agar tidak menjadi masalah karena frekuensi pemeriksaan akan mempengaruhi jumlah kebutuhan RT-PCR yang harus disediakan bagi tenaga kesehatan sebagai kelompok risiko tinggi,” tuturnya.