Pahami Perilaku Anak sebelum Mencapnya Nakal
Reporter
Antara
Editor
Yayuk Widiyarti
Rabu, 19 Mei 2021 14:57 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Belum lama ini masyarakat dihebohkan dengan berita seorang anak yang ditemukan telah tewas selama empat bulan di Temanggung, Jawa Tengah. Penyebabnya orang tua melakukan rukiyah terhadap anak yang dinilai nakal.
Anak sering dicap nakal bila tidak bisa mematuhi perintah atau keinginan orang tua. Padahal, jika melihat lebih dalam bisa saja orang tua yang kurang memahami kebutuhan anak.
Meski tidak mengkaitkan dengan peristiwa yang terjadi di Temanggung, psikolog klinis anak dan remaja dari Klinik Terpadu Universitas Indonesia (UI), Andini Sugeng, mengatakan orang tua harus memahami terlebih dulu perilaku seperti apa yang ditampilkan oleh anak sehingga sampai mendapat label nakal.
"Nakal biasanya terlihat ketika anak menampilkan perilaku yang dianggap melanggar aturan yang ada di rumah atau suatu lingkungan sosial," ujar Andini. "Sementara itu, usia anak akan menjadi gambaran bagaimana perkembangan dan kemampuannya dalam memahami dan bersikap kooperatif terhadap aturan yang berlaku."
Penting bagi orang tua untuk memberikan pemahaman kepada anak mengenai aturan-aturan yang diterapkan di rumah. Penggunaan bahasa yang mudah dimengerti oleh anak juga diperlukan agar tidak terjadi salah paham.
"Aturan disesuaikan dengan usia dan kemampuan anak," kata Andini.
Dalam menghadapi perilaku anak yang kurang kooperatif, orang tua diharapkan bisa peka terhadap kebutuhan anak. Jangan sampai karena kurangnya perhatian yang diberikan oleh orang tua, anak dianggap nakal karena tidak mau mematuhi perintah.
"Kebutuhan anak tidak hanya sebatas kebutuhan yang bersifat fisik atau materi, tetapi juga kebutuhan emosi. Ada perilaku-perilaku yang terlihat kurang kooperatif adalah cara anak mencari perhatian, misalnya marah-marah, padahal ingin diajak main atau dipeluk," ujar Andini.
Andini mengatakan orang tua harus selalu mengawasi kondisi kesehatan anak, misalnya apakah anak sakit, terluka, kurang tidur, lapar, atau keluhan lain. Hal tersebut sangat berguna untuk melihat perilaku anak yang tiba-tiba menjadi tidak kooperatif. Orang tua juga perlu mendengar apa yang disampaikan oleh anak walaupun terkesan sepele. Dari situ, anak akan merasa lebih diperhatikan oleh orang tua.
"Tapi tetap perlu diperhatikan lalu dipilah dan dibimbing untuk menjadi penting atau hanya ingin yang bisa ditunda. Tetap berikan pemahaman," jelas Andini.
Tugas orang tua adalah memvalidasi emosi anak agar merasa nyaman dengan mendapatkan perhatian yang sesuai saat sedang merasa tidak nyaman dan belum tahu cara mengatasi. Orang tua wajib membantu dengan memberikan bimbingan cara mengatasinya, misalnya beri cara-cara yang positif sesuai dengan masalahnya.
"Hindari memberikan label negatif karena berisiko membuat anak makin tidak nyaman. Selain itu bisa berakibat jangka panjang jika label itu berulang. Misalnya, anak menjadi merasa tidak mampu, tidak baik, atau tidak berharga," kata Andini.
Sementara itu, orang tua juga bisa memberikan konsekuensi terhadap anak atas perilaku yang tidak sehat. Namun, ini harus disesuaikan dengan tingkat pelanggaran, usia, dan kemampuan.
"Hindari memberikan konsekuensi yang menyakiti fisik atau mental," ujar Andini.
Jika semua cara dan usaha sudah dilakukan dan anak tetap tidak bisa dikendalikan, orang tua bisa meminta bantuan ahli profesional, seperti dokter anak, psikolog, atau tokoh masyarakat terdekat apalagi jika perilaku anak membahayakan diri, orang lain, atau merusak barang. Orang tua juga wajib meminta bantuan profesional jika perilaku tidak kooperatif tersebut dilakukan secara berulang dan bersamaan dengan anak yang menampilkan emosi berlebihan, terganggu pola makan dan pola tidur, serta mengalami kesulitan berinteraksi dengan orang-orang di sekitar.
Baca juga: Bantu Bentuk Karakter Anak, Ini Peran Ayah dalam Pengasuhan Buah Hati