Antidepresi Bisa Sebabkan Ketergantungan Yang Susah Diobati
Senin, 11 Mei 2009 11:28 WIB
TEMPO Interaktif, Jakarta: Dua puluh tahun lalu, obat anti depresi pertama kali diakreditasi oleh dinas makanan dan obat Amerika Serikat. Ketika itu dianggap sebagai penemuan luar biasa, karena efektif mengatasi depresi.
Sejak itu penjualan obat anti depresi langsung meningkat pesat, berbagai perusahaan farmasi memproduksinya dengan berbagai varian. Obat antidepresi pun menjadi segmen pasar obat yang menggiurkan. Saat ini, anti depresi merupakan obat yang paling tinggi tingkat penjualannya di pasar jenis obat yang dijual bebas, di Amerika Serikat.
Hasil penelitian, seiring dengan peningkatan konsumsi obat anti depresi, ternyata secara korelasi regresional jumlah penderita depresi di Amerika juga meningkat pesat. Sehingga memunculkan dugaan obat ini telah mengakibatkan ketergantungan obat bagi para pemakainya, yang tak menyembuhkan, malah semakin meningkatkan depresinya. Akibat penggunaannya yang sudah sering over dosis.
Antidepresi, secara kimiawi bekerja dengan peningkatan jumlah kandungan neurotransmitter serotonin di syaraf otak, sehingga dapat meningkatkan pengaruh 'rasa nyaman' pada pemakai. Selama ini memang telah berjasa membantu rasa penderitaan bagi para penderita depresi. Namun penggunaan obat ini telah berubah tak hanya buat penderita depresi, tetapi juga digunakan sebagai obat perangsang untuk mengatasi rasa kesepian atau rendah energi.
"Banyak orang yang sedang berjuang untuk mengatasi posisi sulit, kemudian mengkonsumsi obat ini," ujar Dr. Andrew Lauchter, profesor psikiatri dari Universitas California Los Angeles. Padahal fungsi sesungguhnya dari obat ini bukan untuk mengatasi perasaan atau sekedar emosi sulit. Depresi bukan berarti emosi yang buruk atau sedang tak nyaman, tetapi adalah penyakit yang membuat seseorang merasa tak berharga dan tidak mampu untuk melakukan aktivitas rutin apapun, seperti rasa lelah yang berlebihan setelah aktivitas rutin yang biasa, hilang minat dan semangat, malas beraktivitas, dan gangguan pola tidur.
Untuk mengetahui pola pasar konsumsi obat antidepresi, peneliti dari Rand Corp pada tahun 2002 mengadakan survei terhadap 700 orang dewasa yang telah menerima resep obat antidepresi. Dari jumlah itu ternyata, 20 persen memang orang yang tengah menderita depresi, sedangkan sekitar 30% lagi ternyata orang yang telah mengalami simpton depresi, atau mungkin ketagihan. Mereka diduga telah mengkonsumsi obat anti depresi ini selama sekian tahun sebelumnya.
Untuk itu, para peneliti menyarankan agar para pemakai yang ingin menggunakan obat depresi mesti berhati-hati dan bersikap rasional untuk menggunakan obat ini.
LATIMES l WAHYUW