TEMPO Interaktif, BANYUWANGI - Seblang adalah upacara adat berupa tarian yang diiringi gamelan dan gending bahasa Osing. Uniknya, sang penari beraksi dalam keadaan tidak sadar dan dikendalikan roh halus. Nuansa animisme dan dinamisme masih kental dalam setiap upacara adat masyarakat Banyuwangi (Osing). Simbol dan aktivitas Seblang didominasi pengaruh animisme, masyarakat percaya akan pengaruh roh nenek moyang atau dewa yang menjaga kehidupan mereka. Konsekuensinya, masyarakat melakukan persembahan atau pemujaan. Salah satunya adalah Tari Seblang.
“Seblang ini sebagai wujud rasa sukur atas rezeki yang melimpah di desa ini dan untuk menolak bala (bencana) seperti pagebluk, bencana alam, pencurian dan hama penyakit. Setiap tahun harus dilaksanakan,” tutur Mbah Sahwan, salah satu sesepuh adat Seblang.
Sebelum melakukan tarian, sesepuh desa dan pawang Seblang melakukan ritual untuk menentukan hari pelaksanaan. Berbagai sesajen diletakkan di rumah pawang dan mantra-mantra dibaca untuk mengundang roh halus hingga ada yang kesurupan dan memberi petunjuk waktu pelaksanaan Seblang. “Tahun ini, menurut petunjuk dari orang yang kesurupan, pelaksanaannya pada Lebaran hari keempat sekarang (Senin, 13/9),” ucap kakek yang usianya sudah diatas 90 tahun ini.
Setelah hari pelaksanaan ditentukan, warga desa mempersiapkan arena tari Seblang. Di tengah-tengah arena, dipasang tiang kayu setinggi tiga meter dan dipasang payung besar yang disebut Payung Agung. Para penabuh gamelan mengambil posisi dengan alat musik kendang, gong saron, kempul dan slentem. Di pinggir arena didirikan pondok kecil atau sanggar yang menghadap ke timur dengan dihiasi janur kuning, ketela, sayuran dan buah-buahan yang digantung sebagai bukti hasil pertanian dan perkebunan yang disebut poro bungkil.
Di Banyuwangi terdapat dua ritual adat Seblang yakni Seblang Desa Olehsari dan Seblang Desa Bakungan yang keduanya berada di Kecamatan Glagah namun memiliki perbedaan kategori penari dan waktu pergelaran. Penari Seblang Olehsari harus perawan dan belum akil baligh atau belum mengalami menstruasi serta masih dalam satu garis keturunan. Sebaliknya, penari Seblang Bakungan adalah wanita tua diatas 50 tahun yang sudah menopause.
Waktu pelaksanaan Seblang Olehsari adalah setelah perayaan Idul Fitri selama tujuh hari berturut-turut. Sedangkan Seblang Bakungan dilakukan pada minggu kedua bulan Dulhijjah atau Hari Raya Idul Adha selama semalam suntuk. Tahapan dan simbol yang dipakai adat Seblang Olehsari dan Bakungan juga ada sedikit perbedaan terutama dalam mahkota yang dikenakan penari yang disebut Omprok. Omprok Seblang Olehsari dibuat dari pupus daun pisang, pupus pohon pinang, dan berbagai macam bunga seperti bunga kamboja, bunga mawar, dan lain-lain.
Hari ini ritual Seblang Olehsari mulai digelar. Sebelum menggelar ritual tarian, sesepuh desa memohon izin pada roh nenek moyang di makam Mbah Ketut dengan menyalakan dupa. Setelah itu, para perias dan sesepuh Seblang merias sang penari dan menyiapkan segala peralatan dan sesajen.
Setelah seluruh peralatan siap, pawang memasang omprok pada kepala sang penari. Lalu kedua mata sang penari ditutup dengan tangan sang penekep atau penutup mata. Sementara tangan sang penari memegang tampah. Lantas sang pawang mengangkat prapen dan meniupkan asap kemenyan sambil membaca mantra ke arah wajah penari. Jika tampah yang dipegang terjatuh, pertanda penari sudah kerasukan roh halus. “Tamunya datang, minggir-minggir,” ujar Saleh, sang pawang Seblang.
Setelah penari kerasukan, gending-gending segera dilantunkan delapan pesinden yang berumur rata-rata 40 tahun keatas. Dengan dipandu seorang pawang, sang penari mulai melenggak-lenggok mengitari lingkaran arena dengan berputar pada satu poros tiang Payung Agung hingga 28 gending selesai dinyanyikan dan sesekali penari diistirahatkan. Rata-rata dalam satu gending, penari mengitari arena lingkaran berdiameter sekitar tujuh meter sebanyak 3-4 kali dan sesekali penari diistirahatkan. Untuk mengahabiskan 28 gending, penari rata-rata menari selama 3-4 jam per hari. Ini dilakukan berulang hingga tujuh hari lamanya.
Selain mengitari arena panggung yang berbentuk lingkaran, tradisi ketiban sampur juga dilakukan. Penonton yang mendapat lemparan selendang penari, wajib ikut menari bersama Seblang. Hingga kini, sudah sekitar 24 generasi yang masih satu keturunan menarikan Seblang sejak ritual ini digelar tahun 1930-an.
“Setiap tiga tahun sekali, penari Seblang berganti. Penari yang ini sudah tiga kali mnari dan ini yang terakhir kalinya karena dia sudah tiga kali,” kata Ketua Adat Seblang, Ansori. Tahun ini, Seblang dibawakan Suidah, 14 tahun, warga Dusun Krajan, Desa Olehsari, Kecamatan Glagah, yang masih duduk di kelas VII SMP.
Pada hari ketujuh nanti, sang penari akan keliling desa atau ider bumi ke empat penjuru arah. Sebagai penutup, dilakukan penyadaran pada diri sang penari. Pesinden melantunkan gending “Sampun Mbah Ketut Sare” sebagai gending terakhir dengan ritme keras dan bersemangat. Jika penari telah sadar, gending dihentikan dan wajahnya dicuci dengan air wangi atau Toyo Arum. Selesailah prosesi bersih desa untuk tolak bala sekaligus selamatan desa dengan mediasi dunia metafisik itu.
Tak hanya disaksikan masyarakat lokal, ritual ini juga menarik perhatian wisatawan mancanegara. Salah satunya adalah Kelly Koaren asal Estonia. “I stay in Bali and I hear that there is a traditional magic dance in Banyuwangi. So I want to know and this is very interesting (Saya sebenarnya sedang di Bali dan mendengar ada tarian tradisional yang menggunakan kekuatan magis. Jadi saya ingin tahu dan ternyata sangat menarik),” tutur wanita yang mengaku sedang mempelajari Antropologi ini.
ISHOMUDDIN