"Rumah saya dulu tepat di kantor kelurahan itu," kata Makkawaru mengisahkan keadaan Pelabuhan Paotere sebelum terjamah oleh fasilitas modern seperti saat ini. Makkawaru adalah warga kawasan Pelabuhan Paotere yang lahir di sana. Separuh hidupnya dihabiskan di laut mencari ikan bersama ayahnya hingga ia menjadi punggawa kapal. Kini, bapak enam anak ini tidak melaut lagi. Ia menjual kapal lambo miliknya dan membuka toko di pintu II Pelabuhan Paotere. "Sebenarnya, daerah ini bukan Paotere, melainkan Gusung. Daerah Paotere berada di dekat kanal hingga pelelangan ikan," katanya.
Makkawaru tak tahu pasti kapan penamaan Paotere dan Gusung itu muncul. Sebab, bapak kelahiran 1952 ini sudah melafalkan nama itu sejak kecil. Menurut dia, penyebutan nama Paotere tidak lepas dari aktivitas penduduk yang bermukim sekitar sungai yang sekarang disebut Kanal Paotere. "Mereka adalah pendatang. Mereka dari Mandar yang ahli merajut tali atau otere. Nenek-nenek kita dulu menyebutnya paotere, pembuat otere," ujar Makkawaru. Sementara itu, nama Gusung juga memiliki kisah sendiri. Menurut Makkawaru, daerah yang saat ini merupakan kawasan Pelabuhan Rakyat Paotere terbentuk dari gundukan tanah akibat dorongan air laut. "Disebut Gusung karena dulu tidak ada pohon dan banyak tanah gundukan," kata dia. Begitu juga dengan daerah Cambaya, yang berada di kawasan ini. Nama Cambaya lahir karena banyak pohon asam di sana yang disebut camba.
Ketiga daerah ini menjadi kenangan bagi Makkawaru. Hingga 1970-an, daerah itu dikuasai oleh petambak dan pedagang ikan. Hingga kini, masih terdapat tambak ikan dan udang di sana.
Selain itu, kapal nelayan dengan sebutan lete, lambo, pajala, karoro, patorani, dan sandeq, bersandar di pinggir Pantai Gusung. Menurut Makkawaru, pengguna kapal itu adalah nelayan dari Parepare, Mandar, Maros, dan Buton, yang datang menjual ikannya kepada palembarak (pemukul) dan pagandeng atau pedagang yang menggunakan sepeda dari Makassar dan sekitarnya. "Kapal nelayan, dari Cambaya, Gusung, hingga Paotere, berjejer saat itu," jelasnya.
Menurut dia, aktivitas nelayan yang terkonsentrasi di Pantai Gusung akhirnya membentuk pasara atau pasar yang tidak hanya bertransaksi dari hasil laut, tapi juga pakaian dan kebutuhan rumah tangga. Bekas pasar dan tempat pelelangan ikan masih bisa ditemui saat ini di perempatan Jalan Sabutung Baru dan Jalan Barukang Raya, Jalan Barukang Utara, hingga pintu lama Paotere.
Pada 1970-1980, pemerintah mereklamasi Pantai Gusung dan Paotere serta membangun pemecah ombak. "Setelah diambil alih oleh pemerintah, kapal pinisi pun sudah bisa masuk," kata Makkawaru. Kehadiran kapal pinisi kini menjadi objek menarik para wisatawan.
Catatan sejarah Sulawesi Selatan menyebutkan, Paotere adalah salah satu pelabuhan rakyat warisan tempo dulu yang pernah menjadi penggerak ekonomi Makassar. Aktivitas niaga di sana diperkirakan sudah terjadi sejak abad ke-14, di bawah kendali Kerajaan Gowa-Tallo.
Faisal Sapatta, warga setempat, menyebutkan kawasan yang berjarak lima kilometer dari Pantai Losari ini banyak dikunjungi oleh wisatawan. "Hingga sekarang masih banyak wisatawan luar dan lokal yang datang," ujar pria berusia 43 tahun ini. Mantan pegawai bank swasta ini menyebutkan, di antara beberapa objek wisata Paotere yang masih terjaga adalah masih adanya berbagai kapal tradisional, seperti pinisi, kapal penumpang antarpulau, kapal nelayan jolloro, katinting, karoro, patorani. "Pemandangan ini banyak yang suka."
| ABD AZIS