TEMPO.CO, Jakarta - Keberadaan bahasa alay rupanya membawa angin segar di kalangan akademisi. Pengamat bahasa dari Universitas Diponegoro Semarang, Mujid Farihul Amin, mengatakan banyak dari kalangan mahasiswa yang menjadikan keberadaan bahasa alay sebagai bahan tugas akhir atau penelitian.
"Banyak penelitian yang mengaitkan bahasa alay dengan perkembangan musik, film, dan bahasa percakapan di sosial media," kata Mujid ketika dihubungi Tempo pada Rabu, 17 Oktober 2012. Di kalangan akademisi sendiri, bahasa alay masuk dalam kategori prokem atau bahasa pergaulan.
Penelitian soal bahasa alay muncul dari kalangan muda, terutama mahasiswa, karena fenomena ini dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari. Sifat penelitiannya pun semakin lama berkembang. "Awal-awal cuma sekedar membuat kamus bahasa alay. Sekarang ada yang mengaitkannya dengan musik," ujarnya.
Sayangnya, kata Mujid, belum ada penelitian yang serius seperti kapan sebuah bahasa alay tersebut muncul dan lama bertahan di masyarakat. Padahal, ini penting untuk mempelajari fenomena hidup dan matinya sebuah bahasa.
"Pada dasarnya bahasa, termasuk ragam alay itu, berkembang pada satu era kemudian mati dan muncul lagi," katanya. Menarik untuk dipelajari lebih lanjut kapan bahasa tersebut mulai tidak digunakan dan muncul lagi. Contohnya, kata kamseupay yang merupakan kepanjangan dari kampungan sekali uuuh payah dan kasian deh lu. Istilah-istilah itu populer di era 70-an. Kemudian kata-kata tersebut hilang dari pasaran dan muncul lagi belakangan.