TEMPO.CO, Jakarta -Ketika perempuan berada di puncak karir tak bisa dihindari terbentur pada persoalan gender. Gebrakan soal kesetaraan gender juga terjadi di Detroit, Amerika Serikat. Raksasa otomotif General Motors (GM) menunjuk Mary Teresa Barra sebagai chief executive officer (CEO) mulai 15 Januari 2014. Selama lebih dari 100 tahun, perusahaan itu tak pernah dipimpin perempuan. Barra berhasil mengalahkan tiga laki-laki di deretan eksekutif untuk mendapat kursi tertinggi itu.
Loyalitas dan ketekunan Barra memang tak terkalahkan. Ia konsisten bekerja di GM sejak berusia 18 tahun. Pencinta matematika ini memikul tanggung jawab besar untuk mengangkat perusahaan dari keterpurukan karena krisis keuangan AS. Selain karena soal kemampuan, penunjukan Barra juga mempertimbangkan aspek penjualan mobil GM. Para wanita membuat setengah dari semua keputusan para konsumen dalam membeli mobil.
Segala gebrakan boleh terjadi, tapi di atas kertas ternyata jumlah perempuan pemimpin masih sedikit. Dalam daftar bergengsi “Fortune 500”, bos perempuan pada 2013 jumlahnya hanya sekitar 4 persen. Padahal pengaruh mereka dalam memajukan perusahaan tak kalah dari CEO laki-laki. Mereka antara lain Meg Whitman (Hewlett-Packard/HP), Virginia Rometty (IBM), Indra K. Nooyi (PepsiCo), Marissa A. Mayer (Yahoo!), dan Ellen J. Kullman (DuPont).
Tapi menempatkan wanita di posisi eksekutif tak berarti semua hal bisa berjalan mulus. Kekurangan tetap ada, seperti juga pada laki-laki. Contohnya adalah perusahaan teknologi HP yang dipimpin Meg Whitman.
Boleh saja Fortune memasukkan HP sebagai salah satu perusahaan beraset nomor 15 terbesar di dunia. Tapi perempuan lulusan Princeton dan Harvard ini tak berhasil mendongkrak harga saham dan keuntungan HP. Selama ia memimpin, sejak September 2011 hingga sekarang, saham HP anjlok 30 persen. Bloomberg pun menempatkan Whitman di posisi nomor satu sebagai bos paling tidak berprestasi pada 2013.
