TEMPO.CO, Jakarta - Mendengar lagu Sakit Gigi-nya Meggy Z. tentu akan menyembulkan senyuman. Lagu tersebut menggambarkan betapa sakit hati (baca: Sakit Gigi, Anas Bersedia Diperiksa KPK Besok) lebih menyakitkan daripada sakit gigi. Namun tidak bagi Esti Handayani, 31 tahun.
Dia menganggap sakit gigi justru lebih menyiksa dan jangan dianggap sepele. Esti punya pendapat demikian karena pengalaman kelamnya tentang sakit gigi, yang menurut dia justru lebih menyakitkan dibanding sakit hati. Karena itulah, ia tak pernah bisa melupakan rasa sakitnya.
"Saya pernah menangis semalaman gara-gara sakit gigi," katanya, akhir pekan lalu. Mimpi buruk ibu satu anak itu terjadi sekitar 14 tahun silam. Saking hebatnya rasa sakit dari arah mulut, kepala Esti ikut pening. Penderitaannya bertambah karena dia sedang dihadapkan dengan sejumlah ujian sekolah menengah atas.
Keesokan harinya, dokter memvonis Esti harus kehilangan gigi gerahamnya. Musababnya, terdapat lubang besar menganga yang tidak mungkin lagi ditambal.
Kenangan buruk itu mengubah Esti. Setelah itu, dia selalu menggosok gigi sebelum tidur. "Bahkan, kalau ketiduran, saya bangun tengah malam untuk sikat gigi," ujarnya. Trauma tersebut berdampak positif. Esti tidak pernah lagi sakit gigi.
Apa yang dilakukan Esti ternyata tak dilakukan kebanyakan orang Indonesia. "Mereka biasanya menyikat gigi ketika mandi saja," ujar Ratu Mirah Afifah, manajer kesehatan mulut PT Unilever Indonesia, dalam diskusi "Bulan Kesehatan Gigi Nasional" di Gandaria City, Jakarta Selatan, dua pekan lalu.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 menunjukkan kesadaran masyarakat Indonesia untuk menggosok gigi sudah cukup tinggi, sekitar 76,6 persen. Sayang, timing-nya meleset.
"Waktu terbaik menggosok gigi adalah setelah sarapan pagi dan sebelum tidur," ujar Mirah. "Tapi hanya 2,3 persen orang Indonesia yang menggosok gigi sebelum tidur."
Menurut dokter gigi dari Universitas Padjadjaran ini, saat kita tidur, aktivitas dan jumlah kuman di mulut justru meningkat. Sisa makanan menjadi tempat paling nyaman bagi bakteri untuk berkembang biak. Celakanya, saat itu produksi ludah--penetral asam dan pembunuh bakteri di mulut--drop.
Mirah mengatakan terdapat dua bakteri utama di mulut. Pertama, Streptococcus mutans sebagai pembuat gigi berlubang. Temannya, Porphyromonas gingivalis, yang menghasilkan racun pembuat infeksi di gigi. "Kalau gusi berdarah saat sikat gigi, bakteri ini penyebabnya," katanya. Sisa makanan yang tidak tersapu sikat juga akan membentuk plak dan karang gigi. (Baca: Ahok: Cara Sikat Gigi Saya Ternyata Salah)
Ketidaktepatan waktu menggosok gigi menyumbang tingginya tingkat kerusakan gigi masyarakat Indonesia--yang dihitung dari pembusukan (decay), copot (missing), dan berlubang (filling), sehingga dikenal sebagai indeks DMF Teeth. "Indonesia masih di atas angka dunia," ujar Farichah Hanum, Ketua Persatuan Dokter Gigi Indonesia.
Prevalensi nasional, 4,6, jauh di atas standar Badan Kesehatan Dunia, WHO, yang berada pada 3,0. Hanum mengatakan gigi copot menempati poin teratas dari tiga kriteria tersebut dengan 2,9 diikuti gigi busuk, yakni 1,6, dan terakhir gigi berlubang 0,08. Hal itu diperparah oleh rendahnya kesadaran masyarakat Indonesia soal perawatan gigi. "Mereka hanya datang ke tempat layanan kesehatan ketika giginya sudah harus dicabut," kata dokter gigi dari Universitas Gadjah Mada ini. Mirip pengalaman Esti di atas.
Hanum mengatakan kebiasaan dan pendidikan menggosok gigi yang baik dapat menurunkan indeks DMF-T Indonesia. Dengan mengubah waktu menggosok gigi saja, dia melanjutkan, kebusukan pada gigi dapat dihindarkan. "Kalau gigi tidak busuk, tentu saja tak perlu dicopot, dan otomatis menurunkan penyumbang terbesar poin DMF," katanya.
DIANING SARI
Terpopuler
Buku tentang Kiprah Industri Kreatif di Indonesia
Karya Seniman Kapur di Kedai Kopi
Batik Banyuwangi di Mata Priscilla Saputro
Bagteria, Tas Lokal Favorit Paris Hilton
Sebuah Katalog Lengkap 50 Kreator Bersinar Indonesia