TEMPO.CO, Jakarta--Nina--bukan nama sebenarnya--membuat pengakuan dosa. Empat tahun lalu, dia mencetak kartu tanda penduduk abal-abal demi izin masuk X2. Maklum, klub yang berlokasi di Plaza Senayan, Jakarta Pusat, tersebut menerapkan aturan ketat soal batas umur--21 tahun. "Temen-temen gue diusir," kata Nina, kini 24 tahun, kepada Tempo, dua hari lalu.
Nina, yang empat tahun lalu masih kuliah di Jakarta, penasaran dengan X2. “Waktu itu kan lagi happening banget,” kata dia. Seiring dengan berjalannya waktu, pamor klub yang buka pada 2007 itu meredup karena tersaingi klub-klub lain yang menjamur belakangan. Sebut saja Empirica di Sudirman Central Business District dan Colosseum di Kota.
Maka, pengelola meremajakan X2 dan menutupnya beberapa bulan belakangan. Pintu masuk diubah dengan dominasi warna hitam, emas, dan perak, plus huruf X yang bersilangan. Lobinya kini berhiaskan untaian bola-bola berwarna emas di dalam kaca dan cermin yang memantul, mengingatkan kita pada buih whisky Johnny Walker yang keemasan.
“Banyak bagian dari interior yang kami ubah,” ujar Zahra Zettira, kepala hubungan masyarakat X2, kepada Tempo. Terdapat penambahan tata cahaya, berupa sinar hijau di lantai dansa. Layar monitor pun semakin besar, memenuhi tiga perempat dinding klub. Adapun langit-langitnya meriah dengan kilatan warna-warni. X2 akan resmi dibuka kembali pada 10 Oktober mendatang.
X2 sejatinya merupakan kompleks tempat hiburan malam, ketimbang klub. Ada tiga bagian tempat hiburan di sana. Di lantai bawah dan paling besar terdapat X2. Di atasnya ada Equinox—klub dengan musik R&B yang rancak—plus Ego, yang menjadi lounge VIP.
Saat Tempo menyambangi X2 pada Sabtu malam lalu, tepatnya Ahad pukul 1.00 WIB, DJ Riri Mestica memanaskan suasana. Dia ditemani lima penari—dua pria dan tiga wanita—di depan turntable. Semuanya dilengkapi dengan kacamata penuh lampu yang berpendar dalam gelap. Tapi tetap saja tidak ada penonton ajojing di lantai dansa. Paling banter, mereka hanya melakukan head banging, atau berjoget di dekat sofa masing-masing.
Suasana kontras terjadi di Equinox yang menyediakan lantai dansa lebih lapang. “Banyak yang fanatik dengan musik di Equinox,” ujar Zahra. Pengunjungnya bahkan kerap menolak kehadiran DJ dari luar, semata-mata karena sudah mabuk kepayang dengan residents DJ mereka. Sayang, Equinox--yang butuh pembelian minimal Rp 5 juta untuk mendapat tempat duduk--belum tersentuh pemugaran. Lampunya masih temaram. Hanya ada satu lampu laser berwarna hijau untuk ruangannya yang cukup luas dan padat itu. “Equinox akan direnovasi belakangan.”
Aturan untuk masuk ke X2, Equinox, dan Ego segudang. Anda tidak diperkenankan mengenakan kaus-T, hoodie, ataupun sweatshirt. “Sekarang harus dress-up,” kata Zahra. Pengunjung yang sudah duluan teler saat melangkah menuju pintu klub juga akan ditolak mentah-mentah.
Jarang ditemui tamu abege seperti Nina, empat tahun lalu. Sebagian besar merupakan pekerja kantoran. Ekspatriat, menurut Zahra, mencapai 40 persen dari total tamu mereka. Dia mengatakan besarnya angka pengunjung bule merupakan dampak tutupnya Red Square di Arcadia Senayan.
Meski clubber seperti Nina menganggap masa jaya X2 sudah lewat, Zahra hakulyakin klub itu memiliki klien tetap. “Kami punya komunitas sendiri," katanya.
Sebaliknya Zahra menilai banyaknya pelanggar batas umur, seperti Nina empat tahun lalu, sebagai faktor yang membuat pelanggan mereka tidak betah. Maklum, kalau mabuk, abege kerap resek. Jadi tidak ada tempat untuk cabe-cabean di X2. Maka, siapkan KTP sebelum masuk, terutama jika Anda termasuk yang berwajah bayi.
SUBKHAN