Abaikan Penelitian, Masyarakat Korea Tetap Keranjingan Mi Instan
Editor
Tulus widjanarko
Jumat, 2 Juni 2017 15:51 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Drama, film hingga reality show asal Korea Selatan senantiasa disisipi dengan adegan menyantap mi instan. Dari situ, masyarakat mulai berbondong-bondong mengunjungi toko-toko terdekat untuk mencari mi instan atau yang dikenal juga dengan nama ramyeon.
“Aku tidak peduli dengan penelitian. Tidak akan ada yang dapat menghentikanku menikmati mi instan ini.” ujar Kim Min-koo, seorang editor film yang senantiasa menyantap mi instan sebanyak lima kali dalam seminggu.
Kim menambahkan, “Rasanya, aromanya, tekstur mi nya – semuanya terasa sempurna.”
Fenomena mi instan juga populer di negeri Paman Sam. Namun tidak seperti di Korea Selatan atau negara Asia lainnya, mi instan di Amerika hanya dijadikan selingan, bukan makanan utama. Sebuah rumah sakit di Dallas, Texas, Baylor Heart and Vascular Hospital meneliti kaitan mi instan yang dikonsumsi oleh kebanyakan masyarakat Korea Selatan dengan penyakit jantung.
Studi yang dilakukan oleh Baylor Heart and Vascular Hospital tersebut jelas menimbulkan reaksi. Masyarakat Korea Selatan memang terbukti mengonsumsi lebih banyak mi instan dibanding dengan negara-negara lain.
Kebanyakan dari mereka yang sempat diwawancara seperti Kim, mengaku bahkan bersumpah tidak akan berhenti mengonsumsi mi instan. Pecinta mi instan lain mengaku kerap mengakali mi tersebut agar menjadi sajian yang lebih menyehatkan. Mulai dari mencampurnya dengan minyak omega-3, menambahkan beberapa jenis sayuran hingga mengurangi bumbunya.
Selanjutnya: Mi Instan Sebagai Alat Nostalgia Generasi Sepuh
<!--more-->
Reaksi keras tersebut dapat dijelaskan dengan kehadiran mi instan itu sendiri. Mi instan yang beredar di Korea Selatan (ramyeon) dibanderol kurang dari satu dolar per bungkusnya. Ramyeon dengan rasa gurih dan pedas murah tersebut dibungkus menggunakan mangkuk sekali pakai dan dapat ditemukan dimanapun Anda berada. Mulai dari warnet, perpustakaan, stasiun kereta api, gelanggang ice skating bahkan pos-pos pendakian di beberapa gunung dihias dengan para pendaki yang sedang asyik menyeruput mi instan.
Para orang tua di Korea Selatan menggunakan mi instan sebagai media untuk bernostalgia. Mi instan pertama kali dijajakan di pasar-pasar lokal Korea Selatan 1960 silam. Saat itu, Korea Selatan tengah dirundung perang. Karena jatuh miskin, mi instan kerap dimanfaatkan sebagai makanan pokok pengganjal perut. Di sisi lain, para orang tua menganggap bahwa mi instan merupakan pilihan yang sangat ideal untuk disantap bersamaan dengan sebotol bir. Tujuannya agar tidak pengar setelah mabuk-mabukan.
Saking cintanya terhadap produk mi instan dalam negeri, banyak masyarakat Korea Selatan yang rela membayar bagasi lebih saat pergi ke luar negeri karena tidak ingin menyantap mi selain mi Korea Selatan.
“Mereka akan memenuhi tas (koper) nya dengan ramyeon. Ramyeon (mi instan) seperti kimchi bagi orang Korea.” ujar Ko Dong-ryun, seorang insinyur berusia 36 tahun yang menetap di Seoul.
Ko menambahkan, “Aroma dan rasa mi instan yang cenderung gurih serta pedas mengingatkan banyak orang akan rumah.”
Ko mengaku mengisi setengah kopernya dengan mi instan saat melakukan perjalanan bisnis ke luar negeri. Setidaknya 3 bungkus besar mi instan yang masing-masing berisi 5 bungkus memenuhi koper Ko.
“Untuk 6 hari. Tapi, semakin kesini saya berpikir bahwa itu berlebihan. Hanya memenuhi koper saja.” ujar Ko.
Kecepatan, harga dan rasa, itulah poin penting untuk masyarakat Korea Selatan.
Ribuan toko di Korea Selatan pasti memiliki area khusus untuk menyeduh mi instan. Buka tutupnya, tambahkan air panas yang disediakan secara cuma-cuma, tunggu beberapa menit dan mi instan siap disantap.
Tidak sedikit dari mereka yang ternyata melewatkan tahap air panas. Mereka menghancurkan mi tersebut, menambahkan bumbu, mengaduk hingga rata dan memakannya seperti camilan.
“Kenyal, asin, lebih enak daripada camilan lainnya.” ujar Byon Sarah, pemilik perusahaan konsultasi berusia 28 tahun. Dirinya mengaku menemukan cara cepat tersebut saat duduk di bangku sekolah dasar.
Sarah menambahkan, “Bumbunya membuat kecanduan – manis, asin dan juga pedas.”
Tak jauh berbeda dengan Sarah, seorang pengelola perpustakaan di Seoul, Lim Eun-jung berusia 42 tahun mengaku jika berat badannya bertambah drastis dalam kurun waktu 6 bulan setelah dirinya memasang mesin untuk memasak mi instan bagi para pengunjung perpustakaannya.
“Memang tidak baik untuk tubuhku, tapi aku terlalu malas dan mi instan (ramyeon) merupakan makanan yang sangat ideal bagi orang-orang malas seperti diriku.” ujar Lim.
NY DAILY NEWS | ESKANISA RAMADIANI