Maya Hirai, Ibu Origami

Reporter

Editor

Rabu, 6 Oktober 2010 07:41 WIB

TEMPO Interaktif, Desember mendatang, akan ada dekorasi baru di Museum Tsunami Aceh di Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Akan dipamerkan origami 300 camar dan 2.000 kupu-kupu karya Maya Hirai, 39 tahun, dan sekitar seratus remaja penggemar origami di Indonesia.

Camar dipilih karena, menjelang tsunami, burung ini berseliweran di sana. Adapun kupu-kupu merupakan simbol Aceh yang bermetamorfosis sejak luluh lantak oleh tsunami pada pengujung 2004.

Sekarang Maya masih mempersiapkan penggalangan peserta untuk melipat kedua bentuk itu. "Ini agar ada ikatan emosional. Aceh butuh pendatang untuk meningkatkan geliat keterampilan di sana," kata pengoleksi lebih dari 500 reka bentuk origami ini.

Nama Maya Hirai memang tak bisa lepas dari dunia origami atau seni melipat kertas dari Jepang. Saat ini, di Indonesia, perempuan bernama asli Fajar Ismayanti itu satu-satunya instruktur origami yang memegang sertifikat Nippon Origami Association (NOA).

"Padahal tak ada latar belakang di keluarga saya yang menggeluti origami atau bersentuhan dengan budaya Jepang," kata sulung dari empat bersaudara pasangan Enah Djulaenah dan Raden Yus Rustam Tirtakusumah ini.

Advertising
Advertising

Hidup Maya mulus-mulus saja. Namun pada sekitar 1993 kuliahnya mulai tersendat. "Saya tak ikut ujian akhir karena suami saya sakit tifus dan dirawat di rumah sakit," ujarnya kepada Tempo, Senin lalu. Maya sempat kesal karena sang suami, Bambang Setia Budi, malah memintanya untuk berhenti kuliah.

"Nangis saya waktu itu. Tapi, demi taat suami, saya berhenti kuliah di Fakultas Teknik Universitas Pasundan," tuturnya. Untungnya, ketika sang suami, yang menjadi dosen di Institut Teknologi Bandung, melanjutkan pascasarjana arsitektur ke Toyohashi University of Technology, Jepang, Maya diizinkan kuliah lagi. Ia lantas meneruskan kuliah di Universitas Bandung Raya dengan mengambil kajian yang sama.

"Menggebu-gebu semangat saya menyelesaikan kuliah sambil mengurus empat anak yang masih kecil," katanya. Delapan bulan setelah suami bermukim di Jepang, Maya dan anak-anaknya menyusul ke Negeri Sakura itu. "Terpaksa kuliah berhenti lagi," Maya mengenang.

Di Jepang, ketika mengemudikan mobil dari apartemen ke toko untuk membeli susu, Maya tertimpa musibah. Karena lengah, mobil yang dikendarainya tertabrak. Surat izin mengemudi internasional Maya ditarik.

"Terpaksa saya belajar bersepeda untuk mengantar tiga anak sekolah," tutur Maya. Suatu kali, iseng-iseng Maya mencoba menyusuri jalan lain sepulang mengantar anak-anaknya. Ia mengayuh sepeda melewati rumah Takako Hirai, origamer yang pernah memandunya dalam <I>workshop<I> origami. "Dia menyapa saya karena ingat saya siswanya yang pakai kerudung. Lalu saya diajak berlatih origami lagi di sanggar Takako Hirai," tutur Maya, yang kemudian menjadi asisten pengajar Takako.

Di sanggar ini, Maya mendalami origami, dari yang tradisional, seperti bentuk hewan, hingga kontemporer, seperti tokoh animasi dan kartun masa kini. Kini ia masih menganggap bentuk merak adalah bentuk yang paling rumit dan menantang.

Pada pertengahan 2005, Maya mengikuti tes sertifikasi instruktur origami berkualifikasi dari NOA. Dari 50 bentuk yang diujikan, kapal bajak laut jadi bentuk paling sulit. "Petunjuknya ada, tapi saya tidak mengerti huruf kanji," kata Maya, yang baru mengenal huruf kanji sampai level huruf hiragana dan katakana. Namun akhirnya ia menemukan juga jalan keluarnya hingga sertifikat pun diraih.

Takako memberinya nama Tomoko, diambil dari origamer terkenal, Tomoko Fuse. "Tetapi terlalu tinggi, jadi saya tolak. Saat meluncurkan buku, saya pilih Hirai saja untuk menghormati Takako," ia mengungkapkan.

Pada Desember 2005, ia kembali ke Indonesia. Mulai awal 2006, ia sudah kebanjiran permintaan workshop dari rekan berbagi ilmu origami di Tanah Air yang ia usung lewat interaksi di dunia maya di sanggar-origami.com dan Yahoo! Groups.

Selain itu, ia menerbitkan sejumlah buku dan CD tentang origami. Pada 16 Mei lalu, Maya Hirai School of Origami resmi didirikan di Bandung. Namun kegiatan sekolah ini tak menghentikan Maya dari rutinitasnya memandu <I>workshop<I> di sejumlah kota, seperti Jakarta, Depok, Karawang, Bekasi, Medan, Lampung, dan Makassar.

Tak hanya mengajari, Maya juga menerima pesanan ratusan origami untuk dekorasi kafe, restoran, dan hotel, hingga obyek visual gerak untuk layar anjungan tunai mandiri sebuah bank swasta. Bahkan ia membuat origami diorama peternakan untuk iklan sebuah bank syariah.

"Bagi saya, origami lebih dari sekadar seni, karena bisa mengembangkan karakter disiplin. Saya tak bermaksud menggeser budaya Indonesia. Tapi justru ingin mengajak orang meningkatkan apresiasi terhadap keindahan," ujarnya.

Belakangan, Maya menawarkan konsep ramah lingkungan dalam karyanya. Ia mulai menjelajahi origami dengan menggunakan limbah-limbah rumah tangga, seperti plastik dan aluminum foil dari susu bubuk atau cokelat untuk menyiasati sampah anorganik.

| GILANG MUSTIKA RAMDANI

BIODATA

Nama: Fajar Ismayanti
Nama Pena: Maya Hirai
Lahir: Bojonegoro, 28 Mei 1971
Nama Suami: Dr Eng Bambang Setia Budi, ST, MT
Anak:
Abdullah Muhammad Yahya (15 tahun)
Muhammad Yusuf Rabbani (12 tahun)
Tsurayya Az Zahra (10 tahun)
Muhammad Ismail Ibadurrahman (8 tahun)
Hobi: Berbagi

Keanggotaan/Jabatan:
Direktur Sanggar Origami Indonesia, 2006-sekarang
Anggota Nippon Origami Association, Jepang, 2003-sekarang

Publikasi:
Buku Origami, Origami untuk Anak Sekolah Dasar (2006)
CD Origami, Bermain Origami di Rumah, (2007)
CD Origami, Mengenal dan Menyayangi Binatang (2007)
CD Origami, Berkendaraan (2007)
Buku Origami, 30 Origami Favorit (2007)
Buku Origami, Origami untuk Anak Usia 4-10 tahun (2008)
Buku Origami, Kreasi Origami Favorit (2010)

Berita terkait

500 Seniman Ramaikan Nuit Blanche di Taiwan

6 Oktober 2018

500 Seniman Ramaikan Nuit Blanche di Taiwan

Berbagai pertunjukan seni seperti musik juga akan ditampilkan di Nuit Blanche Taiwan, termasuk dari para tenaga kerja Indonesia.

Baca Selengkapnya

Komikus Si Juki: Apa pun Bisa Jadi Meme

4 November 2017

Komikus Si Juki: Apa pun Bisa Jadi Meme

Apapun saat ini bisa dijadikan meme. Perbincangan meme kembali hangat setelah penangkapan seorang pembuat meme tentang Ketua DPR Setya Novanto

Baca Selengkapnya

Karya Teguh Ostenrik Akan Hiasi Kalijodo

9 Agustus 2017

Karya Teguh Ostenrik Akan Hiasi Kalijodo

Karya instalasi ini masih dalam proses pembuatan. Karya ini
rencananya dipasang akhir September mendatang.

Baca Selengkapnya

Di Indonesia Seni Video Belum Diserap Pasar Kelas High End

31 Juli 2017

Di Indonesia Seni Video Belum Diserap Pasar Kelas High End

Seni video yang dinilai memiliki perkembangan cukup bagus di Indonesia diharapkan segera mempunyai pasar.

Baca Selengkapnya

Kisah Putu Sunarta, Seniman Ukir Pembuat Gitar Divart dari Bali

18 Juli 2017

Kisah Putu Sunarta, Seniman Ukir Pembuat Gitar Divart dari Bali

Lama menekuni seni ukir, I Putu Sunarta kini dikenal sebagai
pembuat gitar bermerek Divart di Bali.

Baca Selengkapnya

Buku Biografi Pelukis Arie Smit Terbit, Ini Resensinya  

12 Februari 2017

Buku Biografi Pelukis Arie Smit Terbit, Ini Resensinya  

Buku biografi pelukis Arie Smit yang ditulis Agus Dermawan T.
terbit.

Baca Selengkapnya

Otentisitas Sketsa Van Gogh yang Baru Ditemukan, Diragukan

16 November 2016

Otentisitas Sketsa Van Gogh yang Baru Ditemukan, Diragukan

Buku Sketsa The Lost Arles yang baru dirilis internasional disebut memuat 56 sketsa karya maestro lukis Vincent Van Gogh.

Baca Selengkapnya

Gatot Indrajati Sabet UOB Painting of the Year 2016

25 Oktober 2016

Gatot Indrajati Sabet UOB Painting of the Year 2016

Seniman asal Yogyakarta Gatot Indrajati mendapat penghargaan UOB Painting of the Year 2016.

Baca Selengkapnya

Berusia 39 Tahun, Teater Koma Berharap Tetap Koma

25 Februari 2016

Berusia 39 Tahun, Teater Koma Berharap Tetap Koma

Punya pemain dan penonton setia. Tetap harus berjuang menjadi
teater yang disukai masyarakat.

Baca Selengkapnya

Jakarta 'Cekik' Tugu Pancoran, Edhi Sunarso Meratap Kecewa  

5 Januari 2016

Jakarta 'Cekik' Tugu Pancoran, Edhi Sunarso Meratap Kecewa  

Nahas menerpa Monumen Dirgantara di Pancoran. Monumen itu dibangun Edhi Sunarso pada 1970, pada saat kekuasaan Soekarno sudah lemah.

Baca Selengkapnya