Arsitek Antony Liu tentang Ruang Kecil dan Warna Putih
Editor
Hadriani Pudjiarti
Kamis, 5 Maret 2015 05:03 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Pada zaman yang serba digital ini, arsitek Antony Liu masih doyan menggambar sketsa dengan tangan. Alasannya, karena hal itu lebih menantang, bebas, dan menggerakkan seluruh indra tubuhnya.
Pemilik biro arsitek Studio TonTon ini memang jago menggambar sejak kecil. Hobi itu dia teruskan sampai sekarang dan hasilnya bisa kita saksikan, di antaranya pada sebuah lukisan di kafe dia.lo.gue di Kemang, Jakarta Selatan, yang menggambarkan sejumlah batu dengan berbagai ekspresi.
"Masing-masing batu mewakili pegawai Studio TonTon," kata Antony, 47 tahun, dua pekan lalu. "Tapi pegawai yang mana, cuma saya yang tau, ha-ha-ha...”
Saat itu dia meluncurkan buku tentang Studio TonTon dan pameran karyanya di kafe tersebut. Maket-maket di ekshibisi tersebut bak miniatur perjalanan karier Antony dan rekannya, Ferry Ridwan, sebagai arsitek. Karya-karya yang, menurut arsitek sekaligus penulis Avianti Armand, sukar dikategorisasi dalam genre tertentu.
“Desain arsitektur itu harus bisa dialami, tidak sekadar enak dilihat. Itu yang ingin saya sampaikan lewat desain,” ujar Antony.
Antony juga menegaskan, "Jangan jadi arsitek yang mengandalkan pemandangan alam, tapi jadilah arsitek yang menciptakan pemandangan sendiri lewat desain."
Dia menyakini dalam merancang sesuatu sangat suka mengeksplorasi tempat, lalu pemandangan alam yang dibuatnya sebagai bonus.
"Yang lebih penting adalah bagaimana sebuah ruang kecil bisa kami bikinin pemandangan," ujar dia sambil memberikan contoh bisa melakukan berbagai cara dengan memperbesar volume ruangan, memakai warna putih, dan mengatur potongan ruang sehingga ada permainan warna dan cahaya.
Antony menegaskan untuk pemakaiannya tidak harus serba putih meski diakui memang warna putih bisa membantunya menyampaikan tujuan permainan warna dan cahaya seperti halnya yang diterapkan di Studio TonTon. "Putih itu juga menyimbolkan kemurnian dan merupakan warna favorit kami."
Pengalaman yang ingin dibagi Antony di studionya dengan mendasari studionya punya pemandangan lapangan golf yang sebagai potensi yang tidak perlu diekspos habis-habisan. Karena itulah Antony bersama rekannya Ferry Ridwan memikirkan bagaimana menciptakan ruangan yang melewati pepohonan dan pancuran air.
"Dua itu penting untuk meredam suara kendaraan bermotor. Kami juga ingin orang merasakan bagaimana refleksi cahaya pagi menerpa ruangan, dan interaksi alam dengan studio kami," katanya.
ISMA SAVITRI | HP